Selasa, 10 Mei 2011

Proses Pemotongan Ayam

Penyembelihan (slaughtering)  
Pemotongan unggas menurut Parry (1989), terbagi dalam dua teknik, yaitu manual dengan memotong menggunakan pisau pada sisi leher depan bagian kepala unggas dan dikenakan pada vena jugularis dan arteri karotis. Teknik yang kedua, yaitu pemotongan secara mekanis dengan pisau pemotong otomatis yang selalu berputar dan digerakkan oleh mesin. Dalam hal ini posisi kepala unggas yang tepat sangat penting.

Cara pemotongan ternak unggas yang lazim digunakan di Indonesia yaitu memotong arteri karotis, vena jugularis, oesophagus, dan trachea. Pada saat penyembelihan, darah harus keluar sebanyak mungkin. Jika darah dapat keluar secara sempurna, maka beratnya sekitar 4% dari bobot tubuh. Proses pengeluaran darah pada ayam biasanya berlangsung selama 50 sampai 120 detik, tergantung pada besar kecilnya ayam yang dipotong (Soeparno, 1992).

Perendaman (scalding)
Menurut Soeparno (1992), untuk mempermudah pencabutan bulu, unggas yang telah disembelih dicelupkan ke dalam air hangat, dengan suhu antara 50 sampai 80OC selama waktu tertentu.

Pada prinsipnya ada tiga cara perendaman dalam air hangat, tergantung pada umur dan kondisi unggas, yaitu (1) perendaman dalam air hangat 50 sampai 54OC selama 30 sampai 45 detik untuk ayam muda dan kalkun, (2) perendaman dalam air agak panas 55 sampai 60OC selama 45 sampai 90 detik untuk ayam tua dan (3) perendaman dalam air panas 65 sampai 80OC selama 5 sampai 30 detik untuk itik dan angsa, kemudian dimasukkan ke dalam air dingin agar kulit tidak mengelupas. Perendaman dalam air hangat untuk ayam broiler cukup dilakukan pada temperatur 50 sampai 54OC selama 30 detik.

Perendaman pada temperatur lebih tinggi dari 58OC dapat menyebabkan kulit menjadi gelap, lekat, mudah diserang bakteri, sehingga perendaman pada temperatur tinggi antara 70 sampai 80OC, hanya dilakukan terhadap unggas kualitas rendah (Swatland, 1984) dalam (Soeparno, 1992).

Pencabutan bulu (defeathering)
Bulu unggas, setelah melalui proses scalding dilakukan pembersihan atau pencabutan, segera setelah scalding dengan menggunakan mesin pencabut bulu (plucking mnachine). Mesin pencabut bulu memiliki semacam jari-jari yang berputar sehingga dapat mencabut bulu unggas. Tetapi, pencabutan bulu bisa juga dengan menggunakan tangan langsung, tetapi cara ini kurang praktis (Parry, 1989).

Pengeluaran jerohan (eviscerating)
Setelah pencabutan bulu atau pembersihan bulu, dilakukan pengeluaran jerohan yang salah satu caranya adalah sebagai berikut, yaitu proses pengeluaran jerohan dimulai dari pemisahan tembolok dan trachea serta kelenjar minyak bagian ekor kemudian pembukaan rongga badan dengan membuat irisan dari kloaka ke arah tulang dada. Kloaka dan visera atau jerohan dikeluarkan kemudian dilakukan pemisahan organ-organ yaitu hati dan empedu, empedu dan jantung. Isi empedal harus dikeluarkan, demikian pula empedal dipisahkan dari bawah columna vertebralis. Kepala, leher dan kaki juga dipisah (Soeparno, 1992).

Pendinginan sebelum dipasarkan (chilling)
Chilling adalah proses dalam penanganan karkas yang bertujuan untuk memperpanjang lama simpan, karena dapat menghambat aktivitas bakteri sebelum diolah lebih lanjut atau sebelum sampai ke konsumen (Veerkamp, 1989).

Chilling pada karkas unggas, biasanya menggunakan pendingin dari air, udara, karbondioksida dan nitrogen liquid, tetapi yang paling sering digunakan adalah chilling dengan air dan udara. Temperatur dari pendingin dan kerapatan antar produk dengan pendingin sangat berpengaruh dalam transfer suhu saat chilling.

DAFTAR PUSTAKA

Parry, R. T. 1989. Technological Development  in Pre-Slaughter Handling and Processing in Processing of Poultry. Mead, G. C. Elsevier Applied Science. England.

Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Veerkamp, C. H. 1989. Chilling, Freezing and Thawing in Processing of Poultry. Mead, G. C. Elsevier Applied Science. England.

Tipe Kandang Ayam

Kandang serta peralatan yang ada di dalamnya merupakan sarana pokok untuk terselenggarakannya pemeliharaan ayam secara intensif, berdaya guna dan berhasil guna. Ayam akan terus menerus berada di dalam kandang, oleh karena itu kandang harus dirancang dan ditata agar menyenangkan dan memberikan kebutuhan hidup yang sesuai bagi ayam-ayam yang berada di dalamnya. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini adalah pemilihan tempat atau lokasi untuk mendirikan kandang serta konstruksi atau bentuk kandang itu sendiri. Berdasarkan konstruksi kandang, kandang dapat dibedakan menjadi:

Kandang batere. Kandang ini menggunakan sistem alas berlubang atau kawat. Kandang batere adalah sangkar segi empat yang disusun secara berderet memanjang dan bertingkat dua atau lebih (North, 1994). Kandang batere berbentuk kotak yang bersambung satu dengan yang lain terbuat dari kayu, bambu atau kawat. Masing-masing kotak berukuran lebar 30 sampai 35 cm, panjang 45 cm dan tinggi 60 cm. Lantai kandang baterai letaknya agak miring ke salah satu sisi sekitar 6-7 cm. Ada beberapa bentuk kandang baterey antara lain; Single deck (kandang batere 1 tingkat), Double deck ( kandang batere 2 tingkat), Triple deck (kandang batere 3 tingkat), Four deck dan Five deck hampir sama dengan Triple deck tetapi menggunakan 4 dan 5 tingkat. (North, 1994).

Sistem kandang baterai bertujuan agar ayam tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga, dengan demikian energi dimanfaatkan untuk metabolisme tubuh, khususnya untuk ayam memproduksi telur (Anggorodi, 1985). Kebaikan kandang sistem batere adalah kandang lantai kandang yang selalu bersih karena kotorannya jatuh ke tempat penampungan, peredaran udara lebih lancar, dapat menampung ayam lebih banyak, pengontrolan penyakit lebih mudah dan dapat menimbulkan penyakit Coccidiosis, serta konversi pakan lebih baik. (North, 1984; Akpobame dan Fanguy, 1992). Penggunaan kandang sistem batere memerlukan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem litter, memerlukan penanganan ekskreta secara serius serta dapat menyebabkan lepuh dada dan cacat kaki.

Kandang postal. Kandang dengan tipe litter adalah suatu tipe pemeliharaan unggas dengan lantai kandangnya ditutup oleh bahan penutup lantai seperti sekam padi, serutan gergaji, tongkol jagung, jerami padi yang dipotong-potong, serta dapat digunakan kapur mati yang penggunaannya dicampurkan dengan bahan litter (Sudjarwo dan Indarto, 1989). Litter yang baik harus dapat memenuhi beberapa kriteria yakni : memiliki daya serap yang tinggi, lembut sehingga tidak menyebabkan kerusakan dada, mempertahankan kehangatan, menyerap panas, dan menyeragamkan temperatur dalam kandang (Sudjarwo, 1989). Bahan litter yang efektif adalah bersifat daya serap air (absorben) tinggi, bebas debu, sukar untuk dimakan ayam, tidak beracun, murah, mudah diangkut dan diganti, serta tersedia melimpah. Sainsburry (1995) menyatakan bahwa litter harus menimbulkan kenyamanan bagi unggas dan terbebas dari parasit dan bakteri yang dapat menyebabkan infeksi pada unggas. Pengawasan terhadap kualitas litter sangat penting untuk kesuksesan manajemen perkandangan unggas. Kesalahan manajemen tempat minum atau karena ventilasi kandang yang buruk adalah penyebab utama meningkatnya kelembaban litter yang pada akhirnya adalah terjadinya akumulasi amonia (Daghir, 1995).

Kandang litter juga memiliki kelebihan yaitu: pertama dapat memberikan hasil yang memuaskan, baik kuantitas (bobot badan) maupun kualitas daging, kedua dapat menghindarkan ternak ayam menderita lepuh dada atau pembengkakan tulang dada (Breast Blister), memudahkan didalam pengelolaan yakni seperti pembersihan dan pembuangan kotoran, serta dapat menghemat tenaga kerja.

Kandang panggung. Akpobome dan Funguy (1992) menyatakan bahwa broiler yang dipelihara pada kandang panggung memiliki bobot badan yang lebih rendah tetapi konversi pakan yang lebih baik dibandingkan broiler yang dipelihara di atas lantai sekam.

Sinurat et al., (1995) menyatakan bahwa terjadi penurunan pertambahan berat badan ayam broiler yang dipelihara pada lantai kawat setelah berumur 5 - 6 minggu dibanding broiler yang dipelihara pada lantai sekam, Hal ini terjadi karena semakin tinggi bobot badan ayam gesekan antara tubuh dengan kawat semakin tinggi yang mungkin menyebabkan stress bagi ayam yang dipelihara di atas lantai kawat.

Kandang panggung berlantai kawat menyebabkan lebih banyak kerusakan kaki dan kelainan bentuk kaki dibanding lantai litter. Masalah pada kaki menyebabkan turunnya produksi pada ayam petelur (Anderson, 1994). Kejadian lepuh dada broiler pada kandang panggung dua kali lebih banyak dibanding pada lantai litter (Akpobome dan Funguy, 1992).

Kebaikan dari kandang panggung yaitu memiliki ventilasi yang sangat baik bagi ayam di dalamnya, sebab udara bertiup melalui seluruh bagian tubuh ayam. Keuntungan lain dari penggunaan kandang panggung adalah kemudahan dalam mekanisme kandang, tidak diperlukan biaya untuk pembelian litter dan mengurangi kontak ayam dengan feses (Hypes et al, 1994).

DAFTAR PUSTAKA

Akpobome, G. D and R. C. Funguy. 1992. Evaluation of Cage Floor System of Production of Comercial Broiler. Poultry Science. Vol. 71: 274.

Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Makanan Ternak Unggas. UI Press. Yogyakarta.

Daghir, N. J. 1995. Poultry Production in Hot Climate. Faculty of Agriculture Sciences United Arab. Emirates University. Al-Ain UEA. Cab. International.

North, M. O. 1984. Comercial Chicken Production Manual. 3rd Ed. Avi Publ. Co. Inc. West Port Connecticut.

Sainsburry, D. 1995. Poultry Health and Management. Chickens Turkeys, Ducks, Geese, Quile. 3rd ed. University of Cambridge. United Kingdom.

Sinurat, A. P., D. Zainuddin dan R. Dharsono. 1995. Pengujian Penampilan Biologi Ayam Pedaging Strain Hybro pada Lantai Litter dan Kawat. Ilmu dan Peternakan.

Minggu, 20 Maret 2011

Jerami padi amoniasi


Jerami padi
Jerami padi adalah bagian batang tanaman setelah dipanen butir-butirr buah bersama/tidak dengan tangkainya dikurangi akar dan bagian batang yang tertinggal setelah disabit batanganya (Komar, 1984).

Jerami padi sebagai limbah pertanian mengandung nutrient yang sangat rendah yaitu protein kasra 4,1% dan dinding sel 86%, sehoinngga apabila diberikan pakan tunggal bagi ternak sulit untuk memenuhi kebutuhan ternak akan nutrient, walaupun pemeberiannya secara ad libitum (Dixon, 1986).

Dosis pemberian urea
Dosis urea yang ditaburkan ke dalam jerami jumlahnya sekira 4%-6% dari berat jerami. Dengan kata lain, setiap 100 kg jerami padi yang akan diamoniasi membutuhkan urea sebanyak 4-6 kg. Jika dosis urea yang ditaburkan ke dalam jerami terlalu banyak, maka urea tersebut tidak akan memberikan pengaruh signifikan terhadap nilai nutrisi pada jerami. (Schiere & Ibrahim,1989 cit Shieddiqi, 2005)

Jerami yang telah ditaburi urea harus segera dibungkus dengan rapat. Bahan pembungkus yang digunakan biasanya berupa lembaran plastik dengan ketebalan yang cukup memadai. Pembungkusan ini sangat penting dilakukan agar tercipta kondisi hampa udara (an-aerob). Proses amoniasi harus berlangsung tanpa kehadiran udara, sehingga pembungkusan harus dilakukan secara hati-hati. Untuk mencegah kebocoran, jerami yang telah ditaburi urea dapat dibungkus dengan lembaran plastik sebanyak dua lapis atau lebih (Schiere & Ibrahim,1989 cit Shieddiqi, 2005).

Proses amoniasi
Teknik amoniasi dapat mengubah jerami menjadi makanan ternak yang potensial dan berkualitas karena dapat meningkatkan daya cerna dan kandungan proteinnya. Sejumlah negara di dunia seperti, Tunisia, Mesir, dan Algeria telah melakukan teknik amoniasi jerami padi ini sejak lebih dari 15 tahun yang lalu (Chenost, 1997 cit Shieddiqi, 2005). Prinsip dalam teknik amoniasi ini adalah penggunaan urea sebagai sumber amoniak yang dicampurkan ke dalam jerami. Urea yang akan dicampurkan tersebut dapat dilarutkan ke dalam air terlebih dahulu (cara basah) atau langsung ditaburkan pada setiap lapisan jerami yang akan diamoniasi (cara kering). Pencampuran urea dengan jerami harus dilakukan dalam kondisi hampa udara (an-aerob) dan proses amoniasi jerami ini memerlukan penyimpanan selama satu bulan.
Teknik amoniasi dapat meningkatkan daya cerna jerami. Ternak akan lebih mudah mengonsumsi jerami hasil amoniasi dibandingkan dengan jerami yang tidak diolah. Urea dalam proses amoniasi berfungsi untuk menghancurkan ikatan-ikatan lignin, selulosa, dan silika yang merupakan faktor penyebab rendahnya daya cerna jerami bagi ternak. Lignin merupakan zat kompleks yang tidak dapat dicerna oleh ternak. Lignin ini terkandung dalam bagian fibrosa dari akar, batang, dan daun pada tumbuhan. Jerami dan rumput-rumput kering mengandung lignin yang sangat banyak (Chenost, 1997 cit Shieddiqi, 2005).

Selulosa adalah suatu polisakarida yang mempunyai formula umum seperti pati. Terdapat sebagian besar dalam dinding sel dan bagian-bagian berkayu dari tumbuh-tumbuhan. Kapas hampir merupakan selulosa murni. Selulosa tidak dapat dicerna dan tidak dapat digunakan sebagai bahan makanan kecuali pada hewan ruminansia (sapi, domba, dan kambing) yang mempunyai mikroorganisme selulotik dalam rumennya. Mikroba tersebut dapat mencerna selulosa dan memungkinkan hasil akhir dari pencernaan bermanfaat bagi si hewan (Anggorodi, 1984 cit Shieddiqi, 2005).

Faktor-faktor yang mempengaruhi amoniasi
Untuk menghasilkan jerami amoniasi yang berkualitas, maka dibutuhkan bahan yang berkualitas pula. Bahan dasar dari pembuatan jerami amoniasi ini adalah jerami padi yang tersisa setelah pemanenan. Jerami padi yang akan diamoniasi harus memenuhi beberapa kriteria yaitu, jerami harus dalam kondisi kering, tidak boleh terendam air sawah atau pun air hujan, dan harus dalam keadaan baik (tidak busuk atau rusak) (Shieddiqi, 2005). Jika telah diperoleh bahan jerami yang berkualitas, maka langkah selanjutnya adalah penimbangan dan pengikatan. Penimbangan dilakukan agar diperoleh jerami amoniasi yang sesuai dengan kebutuhan peternak. Sebelum diikat, jerami harus dimasukkan terlebih dahulu ke dalam kotak kayu berbentuk balok dengan tinggi sekira 50 cm. Kotak kayu tersebut berfungsi untuk mengemas jerami menjadi padat dan berbentuk balok sehingga akan memudahkan penanganan. Setelah diikat, jerami tersebut dapat dikeluarkan kembali dari kotak kayu (Shieddiqi, 2005).

Manfaat amoniasi
Manfaat dari pengolahan amoniasi adalah memotong ikatan rantai tadi dan membebaskan sellulosa dan hemisellulosa agar dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak. Amoniak (NH3) yang berasal dari urea akan bereaksi dengan jerami padi. Dalam hal ini ikatan tadi lepas diganti mengikat NH3 , dan sellulosa serta hemisellulosa lepas (Anonimus, 1985). Ini semua berakibat pada kecernaan meningkat, juga kadar protein jerami padi meningkat; NH3 yang terikat berubah menjadi senyawa sumber protein. Dengan demikian keuntungan amoniasi adalah kecernaan meningkat, protein jerami meningkat, menghambat pertumbuhan jamur dan memusnahkan telur cacing yang terdapat dalam jerami (Anonimus, 1985).

Teknik amoniasi dapat meningkatkan kualitas gizi jerami padi agar dapat bermanfaat bagi ternak. Teknik amoniasi ini dapat menambah kadar protein kasar (crude protein) dalam jerami. Kadar protein kasar tersebut diperoleh dari amoniak di dalam urea yang berperan dalam memuaikan serat selulosa. Pemuaian ini memudahkan penetrasi enzim selulosa dan meningkatkan kandungan protein kasar melalui peresapan nitrogen dalam urea. Jerami padi yang telah diamoniasi memiliki nilai energi yang lebih besar dibandingkan jerami yang tidak diolah. Proses amoniasi sangat efektif dalam menghilangkan alfatoksin dalam jerami. Jerami yang telah diamoniasi akan terbebas dari kontaminasi mikroorganisme jika jerami tersebut telah diolah dengan mengikuti prosedur yang benar secara hati-hati.


Daftar Pustaka

Anonimus.1985. Teknik Pengolahan Pakan Ternak Jerami. Direktorat Bina Produksi Peternakan. Ditjen Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Dixon , A. E. 1986. Increasing Digestive Energy Intake Of Ruminant Given Fibrouse Diet Supplement. In: Ruminant Feeding System Utilizing Fibrous Agricuktural Residues1985. IDP of Australia University And College Ltd.Canbera

Komar, A.1984. Teknologi Penglahan Jerami Padi Sebagai Pakan Ternak. Dian Grahita bandung.

Shiddieqy, M. Ikhsan . 2005. Pakan Ternak Jerami Olahan .Mahasiswa Departemen Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Unpad.

Gambar: google.com

Jerami Fermentasi

Probiotik
Menurut Agus et al (1999) di Indonesia dengan bioteknologi telah dihasilkan satu bahan berupa starter yang sering disebut dengan probiotik yang dapat digunakan untuik meningkatkan kecernaan jerami padi dengan cara fermentasi atau dapat digunakan secara langsung sebagai campuran dalam konsentrat. Kelebihan dari jerami fermentasi dengan menggunakan probiotik antara lain adalah mudah dan murah dalam pelaksanaannya, meningkatkan nilai cerna dan kadar protein kasar dan dapat disimpan dalam jangka waktu 6 bulan hingga 1 tahun.

Probiotik dapat meningkatkan produktivitas ternak tanpa menimbulkan efek samping. Secara umum probiotik kaya akan mikrobia selulolitik, lignolitik, proteolitik, amilolitik dan bakteri fiksasi N non simbiotik. Mikrobia lignolitik akan membantu pemecahan ikatan lignosesulosa sehingga selulosa dan lignin akan terlepas dari ikatan tersebut. Mikrobia selulolitik akan menghasilkan enzim selulase yang akan memecah selulosa menjadi selubiosa, selanjutnya akan dihidrolisis menjadi VFA. Mikrobia proteolitik akan menghasilkan enzim protease yang akan merombak protein menjadi polipeptida-polipeptida, selanjutnya menjadi peptide sederhana dan terakhir menjadi asam amino (Soeharto, 1995).

Proses fermentasi
Menurut McWhirter (1987) fermentasi adalah proses untuk menghasilkan berbagai produk dengan perantara atau dengan melibatkan mikrobia. Soejono (1998), upaya untuk meningkatkan nilai nutrisi jerami padi dapat diklasifikasikan dalam kategori perlakuan fisik, kimiawi, fisik kimiawi dan biologi. Perlakuan fisik seperti pemotongan (chopping) atau penggilingan (grinding) belum tentu mempengaruhi komposisi kimia jerami padi. Lebih lanjut dijelaskan (Utomo, 1999) Perlakuan biologi antara lain adalah pengomposan, fermentasi (ensilage), pertumbuhan jamur dan penambahan enzim.

Prinsip dasar dari proses fermentasi merupakan proses enzimatik, enzim dari mikroorganisme dapat menghidrolisis komponen dinding sel tanaman dalam bentuk selulosa dan hemiselulosa mejadi molekul yang lebih kecil disakarida dan monosakarida. Komponen tersebut selanjutnya digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan maupun kebutuhan hidup pokok mikroorganisme. Hal ini mengakibatkan selama proses fermnetasi tersebut akan terjadi kehilangan bahan organik. Namun demikian kalau sekiranya yang digunakan dalam proses hidrolisis dinding sel adalah selulosa maka kehilangan bahan organik dan bahan kering dapat dihindari (Hasyim, 1997).

Salah satu perlakuan kimia jerami adalah dengan menggunakan urea sebagai sumber amonia, dimana mempunyai fungsi melonggarkan ikatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa dan sebagai sumber nitrogen (N) untuk sintesis protein mikrobia probiotik pada saat pembuatan jerami padi fermentasi. Fermentasi mencakup semua proses, baik aerobik maupun anaerobik untuk mengahasilkan berbagai produk yang melibatakan aktivitas mikrobia. Penguraian berbagai senayawa organik sebagai hasil aktivtas mikrobia tidak harus selalu berlangsung dalam suasna aerob, tetpi dapt juga dalam suasana anaerob, tergantung mikrobianya (Darwis dan Sukara, 1990).

Fakor-faktor yang mempengaruhi
Proses fermentasi pakan yang dipengaruhi oleh beberapa factor yang saling tergantung satu sama lainnya, factor-faktor tersebut meliputi 1) karakteristik bahan yang digunakan meliputi kadar air, kadar karbohidrat terlarut, ukuran bahan dan aktivitas mikrobia 2) macam dan kadar bahan tambahan (Peppler, 1983)

Manfaat fermentasi
Melalui fermentasi diharapkan terjadi depolimerasi selulosa yang merupakan komponen serat utama, oleh berbagai enzim selulase mikrobia. Depolimerisasi adalah proses memisahkan senyawa makromolekuler d4engan berbagi cara menjadi senyawa yang relative lebih sederhana. Depolimerisasi mengakibatkan perubahan sebagian selulosa menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga fermentasi dalam rumen lebih cepat, dengan demikian meningkatkan utilitas dan konsumsi pakan (Widiyanto, 1996).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa perlakuan fermentasi padi dalam meningkatkan komposisi protein kasar yaitu dari 6,15% sampai 7,14% (Agus et al, 2000). Tujuan perlakuan fermentasi adalah meningkatkan manfaat pakan berserat (Van Soest et al, 1988)

Elly et al (1982) mengatakan bahwa penambahan inokulum bakteri isolate cairan rumen, jamur, bahan karbohidrat mudah larut, bahan suplemen additive pada jerami padi yang difermentasi dapat menambahkan kualitas nutrient dan kecernaannya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa penambahan berbagai macam material seperti tersebut diatas terhadap proses fermentasi jerami padi mempunyai beberapa tujuan antara lain 1) mempercepat produksi asam laktat, 2) meningkatkan nilai kecernaan, 3) meningkatkan nilai nutrisi, 4) meningkatkan palatabilitasnya.

Daftar Pustaka

Agus, A; R. Utomo dan Ismaya.1999. Penggunaan Probiotik Untuk Meningkatkan Nilai Nutrien Jerami Padi dan Efeknya Terhadap Kinerja Produksi Sapi Peranakan Ongole (PO). Laporan Hasil Penelitian. Lembga Penelitian UGM Bekerjasama dengan IP2TP. Badan Penelitian Dan Pengebangan Pertanian.

Darwis , A. A. Dan E. Sukarta. 1990. Teknologi Mikrobial. PAU Biotek. IPB Bogor.

Elly. L.O., J. Moon And E.M Sudweeks.1982. Chemical Evaluation Of Lactobacillus Addition To Alfalfa, Corn, Sorghum, And Wheat Forage At Ensiling. J. Dairy Sci. 65:1041-1046

Hasyim. 1997. Aplikasi Enzim Selulase Pada peningkatan Kualitas pakan Berserat. Thesis S-2. fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Mc Whirter, N.1987. The Macmillan Encyclopedia. 3th ed. Guild Publishing. London

Peppler, HJ.1983. Fermented Fee And Feed Supplement. In: Biotechnology. Vol 5-6. reed ed. Verlag Chemie. Weinhelm Deerfield Beach. Florida

Soeharto, B. Haryanto and Zaenuddin. 1995. Pemanfaatan Probiotik Dalam pakan Untuk Meningkatkan Efisiensi Pertanian. UNS Bekerjasama Dengan P4N. Badan Litbang Pertanian.

Soejono, A. M. Teknologi Pakan Untuk Ternak Ruminansia. Pidato Pengukuhan Guru Gesar Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Utomo.1999. Teknologi pakan hijauan. Jurusan Nutrisi Dan Makanan Ternak. Hand out. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Van Soest, P. J. 1994. Nutritional Ecology Of The Ruminant, Ruminant Metabolism, Nutritional Strategies. The Cellulolytic Fermentation and The Chemistry Of Forages and Plants Fibers, 2nd. O and Books. Inc . Corvalles. Oregon

Widiyanto .1996. Teknologi Amofer Untuk Meningkatkan Daya Guna Limbah Berserat Sebagi Pakan Ternak Ruminansia. Buletin Sintesis. Yayasan Dharma Agrika. Semarang. 7 (5):7-13.

Gambar: google.com

Urea Molasses Block (UMB)

Molasses merupakan bahan sisa dari industri gula yang banyak dijumpai di samping hasil utamanya. Dari berbagai bahan sisa yang dihasilkan industri gula, molasses merupakan bahan dasar yang berharga sekali untuk industri dengan fermentasi. Molasses adalah sejenis sirup yang merupakan sisa dari pengkristalan gula pasir. Molasses tidak dapat dikristalkan karena mengandung glukosa dan fruktosa yang sulit untuk dikristalkan. Molasses merupakan produk limbah dari industri gula di mana produk ini masih banyak mengandung gula dan asam-asam organik, sehingga merupakan bahan baku yang sangat baik untuk pembuatan etanol. Bahan ini merupakan produk sampingan yang dihasilkan selama proses pemutihan gula. Kandungan gula dari molasses terutama sukrosa berkisar 40-55% (Anonim, 2008)

Sifat fisika molasses yakni berwujud cairan berwarna hitam, memiliki sifat Brix 90,92 %, Pol 29,89 %, HK 32,88 %, dan TSAI 55,32 %. Sedangkan komposisi utamanya yakni sukrosa 38,94 %, glukosa 14,43 %, fruktosa 16,75 %, abu 11,06 %, dan air 18,82 %. Sifat kimia molasses mengandung banyak karbohidrat sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku proses fermentasi alkohol maupun fermentasi lain (Purwanto, 2008)

Bahan utama untuk membuat UMB adalah molasses sebagai sumber energi. Molases merupakan bahan pakan sumber energi karena banyak mengandung pati dan gula. Kecernaanya tinggi dan bersifat palatable. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar airnya 78-86%, gula 77%, abu 10,5%, protein kasar 3,5%, dan TDN 72% (Utomo dan Soejono, 2001).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. http://www.whfoods.com. Molase (Limbah Tebu yang Bermanfaat). Diakses pada tanggal 26 April 2010.

Purwanto, Teguh. 2008. Laporan Tugas Prarancangan Pabrik. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Utomo, R., dan Soejono, M. 1999. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Hand Out. Laboratorium Teknologi Makanan Ternak. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Gambar: google.com

Telur


Telur merupakan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi, yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Disamping mengandung kadar protein yang tinggi, telur juga merupakan sumber zat besi, beberapa mineral lain dan vitamin, sehingga telur merupakan bahan pangan hewani yang dapat dikonsumsi oleh manusia pada segala umur (Triatmojo, 2001).

Telur memiliki struktur yang khusus, karena di dalamnya terkandung zat gizi yang sebetulnya disediakan untuk perkembangan sel telur yang telah dibuahi menjadi seekor anak ayam. Bagian esensial dari telur adalah albumin (putih telur), yang mengandung banyak air dan berfungsi ebagai peredam getaran. Secara bersama-sama albumin dan yolk (kuning telur) merupakan cadangan makanan yang siap digunakan oleh embrio. Telur dibungkus atau dilapisi oleh kerabang yang berfungsi sebagai pelindung terhadap gangguan fisik, tetapi juga mampu berfungsi untuk pertukaran gas untuk respirasi (pernafasan). Kerabang (termasuk di dalamnya selaput kerabang), berdasarkan berat telur keseluruhan tidak selalu terdistribusi sama pada spesies bangsa burung yang berbeda, tetapi dalam satu spesies komposisi 3 bagian tesebut relatif selalu sama (Triatmojo, 2001).

Telur unggas pada dasarnya dibedakan menjadi dua kelas. Perbedaannya terletak pada perbandingan relatif antara yolk dengan albumin. Telur-telur dengan berat yolk sekitar 21-40% dari berat telur secara keseluruhan, termasuk dalam kelas telur dari spesies burung precoxial. Sedangkan telur dengan berat yolk sekitar 15-20% dari berat secara keseluruhan termasuk spesies itik, ayam, turkey (kalkun), dan angsa. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok altricial antara lain dari spesies golden eagle, merpati, dan robin (Triatmojo, 2001).

Telur tesusun atas sebagian besar air. Bahan padat terdiri dari bahan organik yaitu protein, lipida dan karbohidrat, sedangkan bahan anorganik tersusun atas mineral (abu). Rata-rata komposisi kimia telur, ditunjukkan pada tabel. Bagian terbesar dari isi telur adalah air, terdapat sekitar 75% dari berat isi telur. Selanjutnya diikuti bahan organik, yang terdiri atas protein, lipida, masing-masing 12% dan karbohidrat dalam jumlah kecil, yaitu 1%. Bahan anorganik terdapat sekitar 1% dari berat isi telur (Triatmojo, 2001).

Telur mengandung kuning telur kira-kira 30 %, putih telur atau albumin 60%, kerabang 10%. Albumin mengandung 85% air, 11% protein dan 1% karbohirat, sedangkan kuning telur yang bertindak sebagai cadangan makanan mengandung air 48%, protein 17%, lemak 33%, karbihidrat 1%, dan abu. Perkembangan telur dimulai di ovarium dengan terbentuknya bagian kuning telur. Ovarium mengandung banyak ova dan tiap ovum tertutup folikel. Kelihatannya kuning-kuning telur ditimbun secara berlapis di permukaan folikel (Tillman, 1991).

Zat makanan pada putih telur yang terbanyak adalah protein albumin dan paling sedikit adalah lemak. Sedangkan pada kuning telur porsi terbanyak adalah lemak dan bagian yang paling sedikit adalah hidrat arang. Dengan kata lain, putih telur merupakan sumber lemak. Pada kuning telur juga ditemukan vitamin A dalam jumlah banyak (Hadiwiyoto, 1993). Pada telur: Pigmen yolk, lipochrome, lyochrom, pigmen albumen, pigmen selaput kerabang, pigmen kerabang. (Triatmojo,2001).

Daftar pustaka

Tillman, Allen D., Han, Hartadi., Soedomo, Reksohadiprojo, 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogykarta.

Triatmojo , S., Soepomo, Rihastuti, Indratiningsih, 2001. Dasar THT. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Gambar: google.com

Susu

Susu dipandang dari segi peternakan adalah suatu sekresi kelenjar susu dari sapi yang laktasi atau ternak yang sedang laktasi, dan dilakukan pemerahan dengan tidak termasuk kolostrum serta tidak ditambah atau dikurangi oleh suatu komponen. Susu dari segi kimiawi mengandung zat kimia organis maupun anorganis berupa zat padat , air dan zat yang larut dalam air, zat tersebut adalah protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, dan enzim. Susu dari segi gizi berhubungan dengan kebutuhan makanan yaitu suatu zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk pertumbuhan dan mempunyai timbangan yang sesuai dengan gizi (Triatmojo, 2001).

Sifat susu yang perlu diketahui adalah bahwa susu merupakan media yang baik sekali bagi pertumbuhan mikrobia sehingga apabila penanganannya tidak baik akan dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya. Disamping itu susu sangat mudah sekali menjadi rusak terutama karena susu merupakan bahan biologis. Susu yang baik mengandung bakteri dalam jumlah sedikit, tidak mengandung spora mikrobia patogen, bersih yaitu tidak mengandung debu atau kotoran lainnya, mempunyai cita rasa (flavour) yang baik, dan tidak dipalsukan. (Hadiwijoyo,1983).

Pada umumnya air susu yang dihasilkan oleh sapi mengandung enzim lipase yang tidak aktif karena enzim tersebut tidak mengadakan kontak langsung dengan substratnya tetapi dalam keadaan tertentu lipase yang terdapat dalam keadaan tersebut dapat bersifat aktif, sehingga dapat menghidrolisa lemak secara spontan dan terjadilah peristiwa ransiditas yang spontan.

Mineral dalam susu kurang lebih 0,7%, mengandung potassium, kalsium, fosfor, khlorin, sodium, mangan dan sulfur. Vitamin yang terkandung dalam susu adalah vitamin A1, B1, B2, B6, asam pantotenat, vitamin C, D, E, K (Triatmojo, 2001).

Susu yang baik berwarna putih, bersih, sedikit kekuning-kuningan, dan tidak tembus cahaya. Warna ini tergantung bangsa ternak, pakan yang diberikan, lemak dalam susu, dan bahan padat. Apabila diberikan pakan hijauan segar lebih banyak maka kandungan lemak dalam susu tinggi, dan apabila kandungan karoten tinggi maka warna susu menjadi kekuning-kuningan. Susu yang berwarna kemerah-merahan tidak normal, kemungkinan berasal dari sapi yang sakit. (Triatmojo, 2001).

Derajat keasaman susu menurut Dirjen Perternakan tahun 1983 sebesar 4,5-7° soxiet henkle (sh). Derajat keasamam tersebut adalah angka yang menunjukkan jumlah mililiter larutan NaOH 0,25 N yang dibutuhkan untuk menetralkan 100 ml susu dengan 2 ml pp sebagai indikator. Susu segar pada umumnya memiliki pH sebesar 6,5 sampai 6,7. Nilai pH yang lebih tinggi dari 6,7 menunjukkan kelainan yaitu adanya mastitis pada sapi. Apabila pH dibawah 6,5 kemungkinan susu tersebut susu kolostrum atau susu telah rusak karena adanya bakteri (Triatmojo, 2001).

Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai pH yaitu pengenceran dan pemanasan. Pengenceran dapat sedikit menaikan pH dan menurunkan keasaman. Pemanasan dapat mengakibatkan tiga perubahan yaitu: 1) Kehilangan CO2 yang dapat mengakibatkan menurunnya keasaman dan menaikan pH, 2) Adanya transfer Ca dan fosfat ke koloidal sehingga dapat sedikit menurunkan keasaman dan menaikan nilai pH, 3) Pemanasan yang drastis dapat menghasilkan asam dari degradasi laktosa.

Zat makanan yang ada dalam susu berada dalam tiga bentuk yaitu larutan sejati (karbohidrat, garam anorganik dan vitamin), larutan koloidal (protein dan enzim), dan yang terakhir sebagai emulsi (lemak dan senyawa yang ada hubungannya dengan lemak seperti gliserida). Lemak terdapat dalam emulsi biasanya berbentuk globula. Komposisi susu adalah laktosa, berkisar antara 4,9 sampai 5%, protein berkisar antara 3,3 sampai 3,5 dan abu berkisar antara 0,69 sampai 7 % (Triatmojo, 2001).

Lemak susu (gliserida) pada ternak herbivora, terutama ruminansia mengandung banyak asam-asam rantai pendek, dengan panjang berkisar antara 4 sampai 14 atom karbon. Asam-asam lemak rantai pendek ini tidak secara umum terdapat di cadangan atau depot lemak didalam jaringan adiposa hewan. Lemak susu dapat dibentuk dengan pemecahan rantai asam lemak yang panjang yang terdapat di dalam darah yang bersirkulasi atau melalui sintesis zat-zat prekursor. Asam-asam lemak butirat sampai palmirat sebagian besar disintesis di dalam kelenjar mamae, mulai dari asam asetat atau β-hidroksibutirat. Kemudian dengan penambahan fragmen 2 atom karbon dari asetil ko- A, asam lemak dengan rantai panjang dan rantai pendek terbentuk. Akan tetapi, semua asam-asam C-18 datangnya dari sumber-sumber selain sintetis di dalam kelenjar mamae. (Frandson, 1992).

Lemak air susu adalah suatu campuran trigliserida–trigliserida yang mengandung asam-asam lemak jenuh dan tak jenuh. Komposisi lemak pada spesies hewan adalah spesifik, namun pada umumnya, lemak air susu ternak ruminansia mengandung proporsi asam lemak jenuh bermolekul rendah lebih tinggi, terutama asam butirat. Gliserol dari lemak air susu diserap langsung dari darah langsung ke dalam air susu dan beberapa disintesa dalam kelenjar susu dari glukosa darah. Pada ternak ruminansia, banyak asam-asam disintesis dalam kelenjar dari glukosa dan asam asetat darah sedang pada ternak ruminansia asam asetat dan asam beta-hidroksi butirat darah digunakan untuk mensintesis sebagian besar asam-asam lemak (Triatmojo, 1991).

Protein dalam susu sebesar 2,8% sampai 4,0% terdiri atas kasein 80%, laktabumin 18%, dan laktaglobulin 0,05% sampai 0,07%. Protein akan mengalami koagulasi apabila dipanaskan, suasana asam atau oleh adanya enzim protease (Triatmojo,2001).

Daftar pustaka

Hadiwiyoto, Soewedo, 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty. Yogyakarta.

Triatmojo , S., Soepomo, Rihastuti, Indratiningsih, 2001. Dasar THT. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Gambar: google.com

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger