Selasa, 08 Februari 2011

Jual Kelinci Murah















Jual kelinci murah, harga bisa nego di wilayah Jogja dan Magelang!
Rex (3-5 bulan) Rp 50.000-100.000/ekor
Lop (2-3 bulan) Rp 150.00-200.000/ekor
Berminat?! Hubungi Faisal di  no HP 081804126226

Minggu, 06 Februari 2011

Bangsa-bangsa Kambing Perah


Dibeberapa Negara termasuk Negara tropis walaupun banyak jenis kambing, tetapi masih sedikit sekali perhatian terhadap seleksi atau breeding dalam usaha memperoleh satu performance yang baik (Blakely,1991).

Etawah. Bangsa kambing perah Etawah atau Jamnampari merupakan kambing popular dan tersebar luas sebagai kambing perah (susu) di India, Asia Tenggara dan di daerah-daerah lain. Kambing ini mempunyai telinga yang lebar dan panjang serta menggantung.

Kambing perah Etawah merupakan kambing perah yang baik dan juga sering digunakan sebagai produsen daging. Warna bulunya bervariasi dengan warna dasarnya putih, coklat dan hitam. Telinga menggantung dan panjangnya ± 30 cm. Ambing biasanya berkembang baik. Berat badannya yang jantan 68-91 kg, sedang yang betina 36-63 kg. produksi susu dapat mencapai 235 kg dalam periode laktasi 261 hari dan produksi susu tertinggi tercatat 569 kg. kadar lemak rata-rata 5,2% karkas kambing jantan dan betina umur 12 bulan dapat mencapai 44-45% berat hidup (Blakely,1991).

Saanen. Bangsa kambing Saanen berasal dari lembah Saanen di Swiss bagian barat kambing ini sangat terkenal, berwarna putih dengan bulu yang panjang atau pendek. Telinganya tegak dan tajam. Kambing ini merupakan kambing bangsa Swiss yang tersebar dengan berat lebih dari 65 kg pada saat dewasa kelamin. Menonjol karena jumlah (produksi) susunya banyak, tetapi lemak susunya agak rendah (Blakely,1991).

Toggenburg. Bangsa kambing Toggenburg atau bangsa Togg berasal dari pegunungan Alpen di Swiss. Kambing ini adalah jenis kambing kecil dengan badan pendek dan kompak. Kambing betina mempunyai berat 45 kg saat dewas kelamin. Kambing Togg berwarna coklat dibagian badannya dengan warna putih di kaki bagian bawah, dasar ekor dan sisi wajah bagian bawah. Kambing ini berambut panjang atau sedang berjenggot. Kambing Toggenburg merupakan kambing penghasil susu yang baik (Blakely,1991). Kepala kambing Toggenburg mempunyai ukuran sedang dan garis profilnya sedikit konkav (cekung). Telinganya berdiri dari mengarah kedepan (Prihadi,1997).

Anglo Nubian. Bangsa kambing Anglo Nubian merupakan persilangan antara kambing Jamnampari dari India dan Nubian. Kambing tersebut merupakan kambing yang besar, mempunyai kaki yang tinggi dengan kulit yang baik dan bulu mengkilap. Mempunyi telinga panjang dan menggantung, profil mukanya konveks (cembung) yang biasanya disebut Roman Nose. Jadi bentuk kepala kambing tersebut keseluruhan seperti kepala unta dan biasanya tidak bertanduk. Warna bulu sangat bervariasi. Pada puncak laktasi produksi susu mencapai 2-4 kg per hari dengan rata-rata 1-2 kg per hari. Susu kambing Anglo Nubian mempunyai kadar lemak yang tinggi, rata-rata 5,6% (Prihadi,1997).

Nubian. Bangsa kambing Nubian berasal dari Afrika. Berbulu pendek, mengkilap dan kebanyakan berwarna hitam dan coklat dengan telinga yang panjang dan jatuh (terkulai). Kambing bersifat sangat lembut, produksi susunya lebih sedikit bila dibandingkan dengan kambing yang berasal dari Swiss, tetapi persentase lemak susu tinggi. Kambing betina mencapai dewasa kelamin pada saat beratnya kira-kira 60 kg. kambing Nubian cenderung lebih banyak dagingnya dibandingkan bangsa kambing perah lainnya (Blakely,1991).

French Alpine. Kambing ini berasal dari pegunungan Alpine di Perancis. Kambing ini mempunyai warna yang bervariasi, antara lain putih, abu-abu, coklat dan hitam. Badannya besar dengan mata yang tajam dan telinga tegak. Tidak banyak menunjukan kesulitan dalam kelahiran. Ukuran kambing betina saat dewasa kelamin adalah sekitar 55 kg. kambing ini menonjol kemampuan untuk menyusui anaknya karena mempunyai ambing yang besar dan bentuknya bagus dengan puting yang ideal (Blakely,1991).


British Alpine. Bangsa kambing ini berasal dari Swiss dan pegunungan Alpine Austria. British Alpine merupakan kambing yang dideveloped menjadi produsen susu yang baik. Sebagian besar kambing asli di Eropa adalah grup bangsa Alpine dan penyebarannya luas keseluruh Eropa. Kambing-kambing Swiss, French dan Italian Alpine merupakan tipe-tipe kambing Alpine dan banyak dijumpai di Eropa Tengah dan Utara. Mereka biasa dipelihara dalam jumlah yang kecil dan ditumbatkan dengan system feedingstall. British alpine telah dimasukkan di India barat, Guyana, Madagaskar, Mauritius, dan Malaysia. Kambing ini mempunyai daya klimatisasi lebih baik daripada kambing Saanen (Prihadi,1997).

Di India barat pernah tercatat produksi lebih dari 4,5 kg perhari pada laktasi kedua dan ketiga, tetapi di Malaysia dan Mauritikus pengembangan kambing ini gagal antara lain karena kelembaban yang tinggi (Prihadi,1997).

Damaskus. Kambing bangsa ini merupakan kambing yang banyak dipelihara di Libang, Syria,Cyprus. Kambing tersebut baik yang jantan maupun betina tidak bertanduk., warna pada umumnya merah, atau merah dan putih, profil muka konveks, daun telinga panjang dan menggantung. Tinggi gumba 70-75 cm dan berat badan antara 40-60 kg. produksi susu 3-4 liter perhari dapat mencapai 6 liter, dengan jumlah produksi 300-600 liter dalam 8 bulan. Kambing Damaskus lebih subur dibandingkan dengan Saanen, dimana tiap kelahiran rata-rata 1,76 cempe (Prihadi,1997).

Beekal. Bangsa kambing ini banyak dijumpai di beberapa distrik di Punyab India, Rawalpindi dan Lahore di Pakistan barat. Sepintas kambing ini seperti Jamnampari, antara lain profil mukanya Roman Nose, telinga panjang tetapi jauh lebih kecil dibandingkan telinga kambing Etawah (Prihadi,1997).

Kambing ini biasanya berwarna merah coklat dengan bercak atau belang-belang putih. Tinggi gumba jantan dan betina adalah 89 dan 84 cm. kambing betina dewasa mencapai berat hidup kira-kira 45 kg. rata-rata selama laktasi kambing ini dapat menghasilkan susu 105 kg susu dalam waktu 224 hari, dan beranak rata-rata setahun sekali dengan rata-rata anaknya tunggal atau twin (kembar dua) (Prihadi,1997).

Barbari. Bangsa kambing Barbari banyak dijumpai di India bagian Pakistan barat. Kambing ini mempunyai bulu-bulu yang pendek, umumnya berwarna putih dengan bercak-bercak coklat. Tinggi gumba kambing jantan antara 66-76 cm dan betina 60-71 cm. kambing betina dewas berat hidupnya antara 27-36 kg. kambing ini biasanya digunakan untuk produksi susu dan ambingnya pada umumnya berkembang dengan baik. Pernah tercatat produksi susu selama dalam periode laktasi 235 hari mencapai 144 kg (Prihadi,1997).

Di India bangsa kambing ini telah dikembangkan karena produksi susunya dan area tubuhnya relative kecil, sedang produksi cukup banyak menyebabkan ternak ini dipandang sebagai produsen susu yang ekonomis (Prihadi,1997).


DAFTAR PUSTAKA

Blakely, J and D.H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan, edisi ke- 4. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta.

Prihadi, S. 1997. Dasar Ilmu Ternak Perah. Fakultas Peternakan UGM. Jogjakarta.


Bangsa-Bangsa Sapi Perah

Banyak bangsa sapi daging yang dikembangkan untuk tujuan ganda (susu dan daging) atau bahkan untuk tujuan yang lebih luas lagi yaitu susu, daging, dan tenaga. Beberapa bangsa masih memperlihatkan perbedaan sedangkan yang lainnya telah diseleksi untuk sifat-sifat ternak daging atau ternak perah saja (Blakely,1991).

Bangsa sapi perah daerah subtropics

Ayrshire. Bangsa sapi Ayrshire dikembangkan di daerah Ayr, yaitu di daerah bagian barat Skotlandia. Wilayah tersebut dingin dan lembab, padang rumput relative tidak banyak tersedia. Dengan demikian maka ternak terseleksi secara alamiah akan ketahanan dan kesanggupannya untuk merumput (Blakely,1991).

Pola warna bangsa sapi Ayrshire bervariasi dari merah dan putih sampai warna mahagoni dan putih. Bangsa sapi ini lebih bersifat gugup atau terkejut bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang lain. Para peternak dahulu nampak masih berhati-hati dalam usaha mereka dalam melakukan seleksi kearah tipe yang bagus. Hasil itu masih nampak dalam gaya penampilan, simetri, perlekatan ambing yang nampak, disamping kehalusan dan kebersihannya sebagai tipe perah. Sapi Ayrshire hanya termasuk dalam peringkat sedang dari sudut daging serta pedet yang dilahirkan. Rata-rata bobot badan sapi betina dewasa 1250 pound dan sapi jantan mencapai 1600-2300 pound. Produksi susu menurut DHIA (1965/1966) rata-rata 10312 pound dengan kadar lemak 4% (Prihadi,1997).

Brown Swiss. Bangsa sapi Brown Swiss banyak dikembangkan dilereng-lereng pegunungan di Swiss. Sapi ini merumput di kaki-kaki gunung pada saat musim semi sampai lereng yang paling tinggi saat musim panas. Keadaan alam seperti itu melahirkan hewan-hewan yang tangguh akan kemampuan merumput yang bagus. Ukuran badannya yang besar serta lemak badannya yang berwarna putih menjadikannya sapi yang disukai untuk produksi daging (Blakely,1991).

Warna sapi Brown Swiss bervariasi mulai dari coklat muda sampai coklat gelap, serta tercatat sebagai sapi yang mudah dikendalikan dengan kecenderungan bersifat acuh. Sapi Brown Swiss dikembangkan untuk tujuan produksi keju dan daging, serta produksi susunya dalam jumlah besar dengan kandungan bahan padat dan lemak yang relative tinggi. Bobot badan sapi betina dewasa 1200-1400 pound, sedang sapi jantan Brown Swiss 1600-2400 pound. Produksi susu rata-rata mencapai 10860 pound dengan kadar lemak 4,1% dan warna lemak susunya agak putih (Blakely,1991).

Guernsey. Bangsa sapi Guernsey dikembangkan di pulau Guernsey di Inggris. Pulau tersebut terkenal dengan padang rumputnya yang bagus, sehingga pada awal-awal seleksinya, sifat-sifat kemampuan merumput bukan hal penting yang terlalu diperhatikan. Sapi perah Guernsey berwarna coklat muda dengan totol-totol putih yang nampak jelas. Sapi tersebut sangat jinak, tetapi karena lemak badannya yang berwarna kekuningan serta ukuran badan yang kecil menyebabkan tidak disukai untuk produksi susu dengan warna kuning yang mencerminkan kadar karoten yang cukup tinggi (karoten adalah pembentuk atau prekusor vitamin A). disamping itu, kadar lemak susu serta kadar bahan padat susu yang tinggi. Bobot badan rata-rata sapi betina dewasa 1100 pound dengan kisaran antar 800-1300 pound. Sedangkan bobot sapi jantan dewasa dapat mencapai 1700 pound. Produksi susu sapi Guernsey menurut DHIA (1965/1966) rata-rata 9179 pound dengan kadar lemaknya 4,7% (Prihadi,1997).

Jersey. Sapi Jersey dikembangkan di pulau Jersey di Inggris yang terletak hanya sekitar 22 mil dari pulau Guernsey. Seperti halnya pulau Guernsey, pulau Jersey juga mempunyai padang rumput yang bagus sehingga seleksi ke arah kemampuan merumput tidak menjadi perhatian pokok. Pulau itu hasil utamanya adalah mentega, dengan demikian sapi Jersey dikembangkan untuk tujuan produksi lemak susu yang banyak, sifat yang sampai kini pun masih menjadi perhatian. Dalam masa perkembangan bangsa ini, hanya sapi-sapi yang bagus sajalah yang tetap dipelihara sehingga sapi Jersey ini masih terkenal karena keseragamannya (Blakely,1991).

Susu yang berasal dari sapi yang berwarna coklat ini, warnanya kuning karena kandungankarotennya tinggi serta persentase lemak dan bahan padatnya juag tinggi. Seperti halnya sapi Guernsey, sapi Jersey tidak disukai untuk tujuan produksi daging serta pedet yang akan dipotong. Bobot sapi betina dewasa antara 800-1100 pound. Produksi susu sapi Jersey tidak begitu tinggi, menurut standar DHIA (1965/1966) rata-rata produksi sapi Jersey 8319 pound/tahun, tetapi kadar lemaknya sangat tinggi rata-rata 5,2% (Prihadi,1997).

Holstein – Friesien. Bangsa sapi Holstein-Friesien adalah bangsa sapi perah yang paling menonjol di Amerika Serikat, jumlahnya cukup banyak, meliputi antara 80 sampai 90% dari seluruh sapi perah yang ada. Asalnya adalah Negeri Belanda yaitu di propinsi Nort Holand dan West Friesland, kedua daerah yang memiliki padang rumput yang bagus. Bangsa sapi ini pada awalnya juga tidak diseleksi kearah kemampuan atau ketangguhannya merumput. Produksi susunya banyak dan dimanfaatkan untuk pembuatan keju sehingga seleksi kearah jumlah produksi susu sangat dipentingkan (Blakely,1991).

Sapi yang berwarna hitam dan putih (ada juga Holstein yang berwarna merah dan putih) sangat menonjol karena banyaknya jumlah produksi susu namun kadar lemaknya rendah. Sifat seperti ini nampaknya lebih cocok dengan kondisi pemasaran pada saat sekarang. Ukuran badan, kecepatan pertumbuhan serta karkasnya yang bagus menyebabkan sapi ini sangat disukai pula untuk tujuan produksi daging serta pedet untuk dipotong. Standar bobot badan sapi betina dewasa 1250 pound, pada umumnya sapi tersebut mencapai bobot 1300-1600 pound. Standar bobot badan pejantan 1800 pound dan pada umumnya sapi pejantan tersebut mencapai diatas 1 ton. Produksi susu bias mencapai 126874 pound dalam satu masa laktasi, tetapi kadar lemak susunya relative rendah, yaitu antara 3,5%-3,7%. Warna lemaknya kuning dengan butiran-butiran (globuli) lemaknya kecil, sehingga baik untuk dikonsumsi susu segar (Blakely,1991).


Bangsa sapi perah daerah tropis

Sahiwal. Bangsa sapi Sahiwal berasal dari daerah Punyab, distrik montgo mery, Pakistan, daerah antara 29°5’ -30°2’ LU. Sapi perah Sahiwal mempunyai warna kelabu kemerah-merahan atau kebanyakan merah warna sawo atau coklat. Sapi betina bobot badannya mencapai 450 kg sedangkan yang jantan 500-600 kg. sapi ini tahan hidup di daerah asalnya dan dapat berkembang di daerah-daerah yang curah hujannya tidak begitu tinggi. Produksi susu paling tinggi yaitu antara 2500-3000 kg/tahun dengan kadar lemaknya 4,5%. Menurut Ware (1941) berdasarkan catatan sapi perah Sahiwal yang terbaik dari 289 ekor dapat memproduksi antara 6000-13000 pound (2722-5897 liter) dengan kadar lemak 3,7% (Blakely,1991).


Red Sindhi. Bangsa sapi Red Sindhi berasal dari daerah distrik Karachi, Hyderabad dan Kohistan. Sapi Red Sindhi berwarna merah tua dan tubuhnya lebih kecil bila dibandingkan dengan sapi Sahiwal, sapi betina dewasa rata-rata bobot badannya 300-350 kg, sedangkan jantannya 450-500 kg. produksi susu Red Sindhi rata-rata 2000 kg/tahun, tetapi ada yang mencapai produksi susu 3000 kg/tahu dengan kadar lemaknya sekitar 4,9% (Blakely,1991).


Gir. Bangsa sapi Gir berasal dari daerah semenanjung Kathiawar dekat Bombay di India Barat dengan curah hujan 20-25 inchi atau 50,8-63,5 cm. Daerah ini terletak antara 20°5’ - 22°6’ LU. Pada musim panas temperature udara mencapai 98°F (36,7°C) dan musim dingin temperatu udara sampai 60°F (15,5°C) (Prihadi,1997).

Warna sapi Gir pada umumnya putih dengan sedikit bercak-bercak coklat atau hitam, tetapi ada juga yang kuning kemerahan. Sapi ini tahan untuk bekerja baik di sawah maupun di tegal. Ukuran bobot sapi betina dewasa sekitar 400 kg, sedangkan sapi jantan dewasa sekitar 600 kg. produksi susu rata-rata 2000 liter/tahun dengan kadar lemak 4,5-5% (Blakely,1991).

Bangsa sapi perah di Indonesia
Bangsa sapi perah di Indonesia dapat dikatakan tidak ada. Sapi perah di Indonesia berasal dari sapi impor dan hasil dari persilangan sapi impor dengan sapi local. Pada tahun 1955 di Indonesia terdapat sekitar 200000 ekor sapi perah dan hamper seluruhnya merupakan sapi FH dan keturunannya (Prihadi,1997).

Produksi susu sapi FH di Indonesia tidak setinggi di tempat asalnya. Hal ini banyak dipengaruhi oleh factor antara lain iklim, kualitas pakan, seleksi yang kurang ketat, manajemen dan mungkin juga sapi yang dikirim ke Indonesia kualitas genetiknya tidak sebaik yang diternakkan dinegeri asalnya. Sapi FH murni yang ada di Indonesia rata-rata produksi susunya sekitar 10 liter per hari dengan calving interval 12-15 bulan dan lama laktasi kurang lebih 10 bulan atau produksi susu rata-rata 2500-3000 liter per laktasi (Prihadi,1997).

Hasil persilangan antara sapi lokal dengan sapi FH sering disebut sapi PFH (Peranakan Friesian Holstein). Sapi ini banyak dipelihara rakyat terutama di daerah Boyolali, Solo, Ungaran, Semarang, dan Jogjakarta. Juga dapat dijumpai didaerah Pujon, Batu, Malang,dan sekitarnya. Warna sapi PFH seperti sapi FH tetapi sering dijumpai warna yang menyimpang misalnya warna bulu kipas ekor hitam, kuku berwarna hitam dan bentuk tubuhnya masih memperlihatkan bentuk sapi local, kadang-kadang masih terlihat adanya gumba yang meninggi (Prihadi,1997).


DAFTAR PUSTAKA

Blakely, J and D.H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan, edisi ke- 4. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta.

Prihadi, S. 1997. Dasar Ilmu Ternak Perah. Fakultas Peternakan UGM. Jogjakarta.

Alat-alat Peternakan


Neckchain . Neckchain adalah alat identifikasi berupa kalung terbuat dari rantai, kulit atau nilon yang digantungi plastik bernomor.

Ear tag. Ear tag adalah tanda yang dipasang pada daun telinga sebagai cirri individual ternak sapi. Ear tag biasanya terbuat dari plastik atau almunium. Keuntungannya adalah mencegah terjadinya kesalahan atau tertukarnya nomor antar sapi. Kerugiannya Ear tag dapat hilang atau jatuh serta tidak terlihat dari jauh (Santosa,1995).

Ear notch tang. Ear notch tang adalah alat yang berfungsi mengidentifikasi dengan cara merobek daun telinga dengan kode dan ukuran tertentu (Williamson,1993). Ear notch ini bersifat tetap.

Branding. Branding merupakan alat identifikasi yang terdiri dari dua macam car yang pertama Hot Branding, suatu cara pembuatan tanda atau nomor pada kulit ternak yang berupa cab besi panas yang ditempelkan pada kulit ternak selama lebih kurang 5 detik. Yang kedua yaitu Frezee Branding, suatu cara pembuatan tanda pada kulit ternak, berupa cab besi beku yang didinginkan atau dibekukan pada nitrogen cair. Kulit ternak yang akan dicap harus dibersihkan bulunya dan dicuci dengan alcohol terlebih dahulu (Blakely,1991).

Tattoo tang. Tatto tang merupakan alat identifikasi ternak pada bagian telinga dengan kombinasi huruf atau angka (Williamson,1993).

Angkle strap. Angkle strap merupakan gelang kaki plastic yang bernomor, yang dililitkan pada kaki belakang sapi (Santosa,1995).

Halter. Halter adalah alat Bantu handling sebagai ganti tali keluh yang terbuat dari rantai besi dan kulit.

Burdizzo. Burdizzo merupakan alat untuk mengkastrasi hewan jantan dengan memutuskan saluran dengan penjepit, hingga aliran darah menuju testikel putus (Blakely,1991).





DAFTAR PUSTAKA

Blakely, J and D.H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan, edisi ke- 4. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta

Williamson and Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta



Dehorning

Dehorning adalah penghilangan atau pemotongan tanduk. Bangsa sapi perah kebanyakan dipotong tanduknya Karena tanda tidak menguntungkan peternak sapi perah, meskipun peternak ingin mempertahankan pada anak sapi jantan yang dipelihara untuk kerja atau untuk sapi dara atau dua atau tiga kegunaan. Pemotongan tanduk paling baik dilaksanakan dengan membakar pucuk tanduk ketika anak sapi berumur satu atau dua minggu, bisa juga dengan menggosok pucuk tanduk dengan tongkat soda api (cautik) sampai hampir berdarah dengan menggunakan collodion atau dengan menggunakan silinder yang panas ditekankan untuk satu atau dua menit disekitar cincin kuncup tanduk (Williamson,1993).

Dalam penggunaan tongkat soda api, perawatan harus dilakukan sedemikian rupa supaya anak sapi tidak membawa soda api kepada induk sapi pada waktu menyusu sehingga soda api tersebut tidak menyebar dari tempat pelaksanaan terutama kedalam mata. Ini mungkin terjadi bila anak sapi terkena air hujan setelah penggunaan tongkat soda api (Williamson,1993).

Pemotongan tanduk dengan arus listrik dapat juga digunakan pada sapi muda. Suatu cincin baja yang dipanaskan dengan listrik ditekankan pada dasar tanduk sehingga membakar jaringan disekitarnya dan menahan pertumbuhan tanduk. Mereka yang berpengalaman apabila melakukan cara ini hanya mematikan sebagian saja dari dasar tanduk itu dan kemudian tanduk masih tumbuh dalam wujud deformasi yang disebut scur (Blakely,1991).

Sapi yang lebih tua pemotongan tanduknya harus dengan gergaji atau dengan alat pemotongan Barnes. Cara ini akan menyebabkan timbulnya pendarahan (Blakely,1991).Sebenarnya banyak cara yang dipraktekkan untuk pemotongan tanduk sapi. Suatu cara yang akan dipakai sangat tergantung pada umur sapi yang akan dihilangkan tanduknya serta pengalaman yang dipunyai oleh mereka yang akan melaksanakan pekerjaan itu. Sapi muda sering dihilangkan tanduknya dengan menggunakan pasta kimia yang keras (Kalium atau Hidrokside), pasta kimia tersebut dioleskan diseputar pangkal tanduk ketika anak sapi berumur kurang dari satu minggu, sehingga mematikan pertumbuhan dan perkembangan tanduk tersebut (Blakely,1991).

DAFTAR PUSTAKA

Blakely, J and D.H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan, edisi ke- 4. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta

Williamson and Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta

Kompos


Kompos merupakan hasil fermentasi atau hasil dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau limbah organik. Kompos secara ilmiah dapat diartikan sebagai partikel tanah yang bermuatan negatif sehingga dapat dikoagulasikan oleh kation dan partikel tanah untuk membentuk granula tanah. Kompos memiliki peranan sangat penting bagi tanah karena dapat mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat kimia, fisik, dan biologinya (Djuarnani et al., 2005).

Pengomposan adalah degradasi dan stabilisasi bahan organik secara aerob yang dilakukan oleh mikroorganisme di bawah kondisi lingkungan yang terkendali, dengan hasil akhir berupa produk mirip humus dan dapat dipergunakan sebagai pupuk ataupun pembenah tanah. Transformasi bahan organik menjadi senyawa organik dan anorganik sederhana terjadi selama proses pengomposan. Bahan organik kompleks diubah menjadi CO2, H2O, humus, nitrat, sel mikrobia dan panas. Pengomposan bertujuan untuk menstabilkan bahan organik, membunuh organisme patogen, meniadakan bau busuk, membunuh biji gulma dan mengurangi volume limbah (Triatmojo, 2004).

Prinsip pengomposan adalah menurunkan nilai rasio C/N bahan organik menjadi sama dengan rasio C/N tanah. Rasio C/N adalah hasil perbandingan antara karbohidrat dan nitrogen yang terkandung di dalam suatu bahan. Nilai rasio C/N tanah adalah 10 sampai 12. Bahan organik yang memiliki rasio C/N sama dengan tanah memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman (Djuarnani et al., 2005).

Penambahan kompos ke dalam tanah dapat memperbaiki struktur, tekstur, dan lapisan tanah sehingga akan memperbaiki keadaan aerasi, drainase, absorbsi panas, kemampuan daya serap tanah terhadap air, serta berguna untuk mengendalikan erosi tanah. Kompos juga dapat menggantikan unsur hara tanah yang hilang akibat terbawa oleh tanaman ketika dipanen atau terbawa aliran air permukaan (erosi). Bahan pembuat kompos dibedakan menjadi dua macam, yaitu berdasarkan komponen yang dikandungnya dan berdasarkan asal bahannya. Bahan pembuat kompos berdasarkan komponen yang dikandungnya dibedakan menjadi bahan organik lunak, bahan organik keras, bahan selulosa, limbah protein, dan limbah manusia. Bahan pembuat kompos berdasarkan asal bahannya dibedakan menjadi limbah pertanian, limbah industri, dan limbah rumah tangga (Djuarnani et al., 2005).

Pengomposan terjadi pada empat tahapan proses, yaitu: 1) tahap laten dan mesofil, 2) tahap termofil, 3) tahap pemasakan, 4) tahap pendinginan. Mikrobia di dalam tumpukan kompos pada tahap laten dan mesofil masih menyesuaikan dengan lingkungan barunya. Suhu tumpukan masih sama dengan suhu lingkungan. Pertumbuhan mikrobia terjadi beberapa saat kemudian (sekitar 6 sampai 12 jam) yaitu mikrobia yang hidup subur pada suhu 35 °C. Mikrobia memanfaatkan senyawa organik sederhana untuk tumbuh dan berkembang biak. Mikrobia yang mendominasi pada awal pengomposan adalah bakteri (Triatmojo, 2004).

Suhu pada tahap termofil terjadi peningkatan akibat dari aktivitas mikrobia. Suhu meningkat di atas 40 °C bahkan dapat mencapai 55 sampai 60 °C. Banyak mikrobia mesofil yang mati pada tahap ini dan digantikan oleh mikrobia termofil (biasanya bakteri dan fungi) yaitu mikrobia yang tahan hidup pada suhu sekitar 55 °C. Degradasi bahan organik bermolekul besar atau senyawa kompleks terjadi pada tahap ini dan menghasilkan asam-asam organik, NH3, CO2, H2O, dan gas-gas lain. Tahapan ini sangat penting karena dihasilkan panas yang cukup tinggi untuk membunuh organisme patogen dan biji gulma. Tahap termofil berlangsung selama 8 sampai 12 hari. Produksi panas lebih rendah dibanding dengan panas yang hilang pada akhir tahap termifil sehingga suhu tumpukan kompos akan turun sampai di bawah 40 °C. Mikrobia termofil banyak yang mati digantikan oleh mikrobia mesofil terutama fungi dan aktinomisetes (Triatmojo, 2004).

Suhu pada tahap pemasakan turun di bawah 40 °C, bakteri nitrifikasi mulai mengubah NH3 menjadi nitrit dan nitrat. Degradasi senyawa kompleks terjadi pada tahap ini seperti selulosa dan hemiselulosa menjadi humus. Tahap pemasakan biasanya terjadi pada hari ke 15 sampai 30, tergantung pada macam bahan penyusun kompos, macam pengomposan dan populasi mikrobia yang ada di dalam tumpukan kompos (Triatmojo, 2004).

Suhu kompos turun terus sampai mendekati suhu lingkungan pada tahap pendinginan. Uret dan kumbang mulai tumbuh memangsa protozoa dan bakteri. Tahapan ini sangat penting karena senyawa-senyawa yang berbahaya seperti NH3 telah diubah menjadi nitrat, sehingga kompos aman digunakan sebagai pupuk (Triatmojo, 2004).

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan selama proses pengomposan adalah kandungan air, aerasi atau kebutuhan O2, suhu, perbandingan C/N, populasi mikrobia dan adanya bahan beracun. Kandungan air bahan yang dikomposkan sebaiknya antara 50 sampai 60 %. Kandungan air yang terlalu tinggi mengakibatkan kondisi tumpukan kompos menjadi anaerob sehingga akan timbul bau busuk dan terjadi emisi gas berbahaya seperti NH3, merkaptan, metan, dan lain-lain. Pengomposan sebaiknya dijaga suhunya sekitar 55 °C selama dua minggu pertama, agar diperoleh kompos yang bersih, sehat dan aman untuk digunakan sebagai pupuk (Triatmojo, 2004).

Perbandingan C/N untuk pengomposan adalah antara 20 sampai 30. Limbah ternak (feses) mempunyai C/N sekitar 15 sehingga perlu ditambah bahan sumber karbon misalnya jerami agar C/N-nya ideal. Perbandingan C/N yang rendah akan diproduksi NH3 yang tinggi sehingga akan hilang ke udara. Perbandingan C/N yang tinggi menyebabkan mikrobia tidak dapat hidup subur karena kekurangan N. Populasi mikrobia yang rendah menyebabkan lamanya tahap laten dan mesofil, demikian juga kalau substrat yang terlarut jumlahnya kecil (Triatmojo, 2004).

Penambahan inokulan dapat mempercepat proses pengomposan asal kondisi lainnya juga ideal. Beberapa logam berat dan senyawa organik beracun dapat menghambat proses pengomposan. Minyak menghambat proses pengomposan, detergen akan mempercepat proses pengomposan, sedangkan herbisida tidak berpengaruh (Triatmojo, 2004).


DAFTAR PUSTAKA
Triatmojo, Suharjono. 2004. Penanganan Limbah Peternakan. Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS). Jurusan Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta


Fisiologi Kelenjar Susu

Jaringan kelenjar susu dapat memberikan peluang untuk mempelajari fungsi dasar fisiologi sel dan system organellanya. Jaringan kelenjar susu tersebut berbeda dengan jaringan-jaringan yang lain dalam hal pertumbuhannya sebagian besar terjadi pada saat ternak betina telah mencapai pubertas (Prihadi,1997).

Kelenjar susu merupakan kelenjar tambahan sistama reproduksi. Dalam kondisi yang normal kelenjar susu akan berkembang setelah sistema reproduksi beroperasi atau berfungsi. Pada ternak yang berplasenta perkembangan kelenjar susu sebagian besar terjadi setelah ternak mulai bunting. Pertumbuhan jaringan kelenjar susu dibawah pengaruh hormon-hormon. Namun tidak diketahui apakah kadar hormon dalam darah selama bunting mempengaruhi besarnya perkembangan kelenjar susu atau hormon-hormon tersebut berfungsi hanya sebagai perangsang atau kunci yang merangsang material genetik dalam asam deoksiribonucleat (DNA) dalam sel kaitannya dengan pembelahan sel untuk pertumbuhan kelenjar susu (Prihadi,1997).

Sekresi susu yang berkelanjutan diatur oleh beberapa faktor. Jumlah susu yang diproduksi dan komposisi dapat ditingkatkan dengan mengadakan perubahan status hormon dan nutrisi ternak. Hormon-hormon somatotrophin dan thyroxine meningkatkan produksi susu sapi perah. Untuk mempertahankan kontinueitas sekresi susu, susu yang telah disekresikan harus dikeluarkan secara periodik. Pengeluaran susu dari kelenjar susu pada sebagian besar mammalia memerlukan ransangan pada sistema syaraf melalui sistema penyusunan oleh anaknya atau pemerahan. Ransangan pada syaraf memacu pelepasan hormon oxitocin yang menyebabkan sel myoepithel yang mengelilingi alveolus berkontraksi dan memeras susu keluar dari alveoli menuju ke saluran susu (Prihadi,1997).

Karena kelenjar susu merupakan kelenjar kulit, pembuluh darah utama yang menghubungkan kelenjar dengan tubuh terbatas dengan sedikit arteri dan vena. Hal ini memungkinkan untuk mengukur aliran yang terjadi pada komposisi darah yang masuk dan yang meninggalkan kelenjar susu (Prihadi,1997).

Ambing adalah suatu kelenjar kulit yang tertutup oleh bulu, kecuali pada putingnya. Ambing tanpak sebagai kantung yang berbentuk persegi empat (Prihadi,1997). Ambing seekor sapi betina terbagi menjadi empat kuartir yang terpisah. Dua kuartir bagian depan biasanya berukuran 20% lebih kecil dari kuartir bagian belakang dan kuartir-kuartir itu bebas satu sama lain (Blakely,1991).

Ambing terbagi menjadi dua bagian kiri dan kanan terpisahkan oleh satu lekukan yang memanjang, yang disebut intermammary groove. Diambing sering dijumpai adanya puting tambahan (extra teat) diluar empat yang normal dari maisng-masing kuartir. Puting tambahan biasanya berada dibelakang puting belakang atau kadang-kadang diantara puting depan dan belakang (Prihadi,1997).

Menurut Soetarno (1999) kuartir sebelah kanan dan sebelah kiri dipisahkan oleh membrane yang tebal yang disebut tenunan penyakit “septum media” (median susupensory) yang menjulur keatas bertautan pada dinding perut, sehingga merupakan alat penggantung bagi ambing. Bagian ambing kanan dan kiri masing-masing dipisahkan menjadi dua bagian oleh suatu membrane yang amat tipis (fine membrane)

Ambing sapi terdiri dari dua tenunan atau jaringan yaitu “tenunan kelenjar” yang menghasilkan susu dan tenunan pengikat berfungsi sebagai kerangka. Tenunan kelenjar susu dan tenunan pengikat disatukan dan terbungkus oleh kulit berfungsi sebagai pelindung (Soetarno,1999).

System tenunan kelenjar susu terdiri dari rongga putting, rongga ambing, saluran susu besar dan alveoli. Sedang system tenunan pengikat terdiri dari sekelompok alveolus-alveolus atau alveoli terbungkus oleh membran yang tipis berbentuk lobulus. Lobulus-lobulus atau lobuli, satu dengan yang lainnya juga terbungkus oleh membran yang tipis. Dari banyak lobuli yang terbungkus oleh membran tipis tersebut terbentuk lobus. Membran yang tipis membungkus alveoli atau lobuli dan semua tenunan atau jaringan pengikat yang ada pada tenunan kelenjar susu merupakan sistema tenunan pengikat yang berfungsi sebagai kerangka dari tenunan kelenjar susu (Soetarno,1999).


DAFTAR PUSTAKA

Blakely, J and D.H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan, edisi ke- 4. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta.

Prihadi, S. 1997. Dasar Ilmu Ternak Perah. Fakultas Peternakan UGM. Jogjakarta.

Sutarno, T. 1999. Manajemen Ternak Perah. Fakultas Peternakan UGM. Jogjakarta.

Mikrobia Rumen


Sumber protein untuk ternak ruminansia adalah protein mikrobia rumen. Mikrobia rumen sangat dibutuhkan peranannya untuk memecah komponen serat kasar pakan sehingga mudah dimanfaatkan oleh induk semangnya. Jumlah dan aktifitas sangat tergantunng pada ketersediaan nutrien, pH rumen, produksi saliva dan tingkat penyerapan produk fermentasi. Adanya mikrobia menyebabkan ruminanasia dapat menggunakan NPN termasuk urea (Hartadi et al., 1990).

Rumen adalah kantung penampungan perrtama bahan pakan setelah dikunyah dan ditelen. Cairan rumen merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri dan protozoa secara anaerobik. Salah satu bakteri yang penting di dalam rumen adalah bakteri selulolitik yang menyebabkan ternak ruminansia hidup dengan hijauan berkualitas rendah (Curch, 1988).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikrobia antara lain: temperatur, substrat, pH, inhibitor, dari produk yang dihasilkan, kelembaban, dan ketersediaan nutrien. Protein yang ada di dalam rumen merupakan protein murni dan pritein mikrobia yang akan didegradasi dalam bentuk amonia. Amonium yang terbentuk di dalam rumen digunakan untuk membentuk proyein tubuh mikrobia (Page dan Soendoro, 1981).


Daftar Pustaka

Curch, DC. 1988. The Rminant Digestive Pysiologi and Nutrition, By Prentice Hall. Adlivision of Simon and Scucter Englowood Ctifts. New Jersey.

Hartadi, Hari, Soedomo Reksohadi Prodjo dan Allen D Tillman. 1990. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. University Press. Cetakan ke-2.

Page, S.D dan Soendoro. 1981. Prisip-prinsip Biokimia. Penerbit Erlangga. Jakarta.


Konsentrat

Konsentrat adalah pakan ternak yang mengandung serat kasar rendah energi dan BETN yang tinggi serta mudah dicerna oleh ternak (Tillman et al., 1998). Konsentrat dapat pula diartikan sebagai bahan pakan penguat yang dipergunakan bersama bahan pakan lain, untuk meningkatkan gizi dan dimasukan untuk disatukan dan dicampur sebagai suplemen atau pakan pelengkap (Hartadi et al., 1997).

Konsentrat meliputi biji-bijian (jenis padi-padian, kacang-kacangan) hasil ikutan dari penggilingan dan biji-bijian antara lain dedak padi, dedak jagung, dedak gandum dan lain-lain. Konsentrat dikelompokan menjadi 2 yaitu Proteinaceous concentrate dan Carbonaceous concentrate. Carbonaceous concentrate adalah konsentrat yang mengandung energi tinggi, sedangkan Proteinaceous concentrate adalah konsentrat yang kaya protein (Lubis, 1992).

Konsentrat sumber energi disebut juga Carbonaseous yaitu pakan yang berenergi tinggi, proteinya rendah, cotohnya yaitu bebijian, da hasil ikutannya. Secara umum ber enenrgi itnggi yaitu kandungan TDN atau NE berserat rebdah (< 18%) kwalitas protein bervariasi biasanya rendah (<20%). Untuk mineralnya P cukup tinggi dan Ca rendah sreta untuk vitamin; vitamin D rendah, vitamin B1 dan Niacin tinggi, Riboflavin, vitamin B12, dan Pantotanik rendah dan untuk vitamin E juga rendah. (Ristianto Utomo, 1999).

Konsentrat sumber protein atau disebut juga proteinaseous, kualitas proteinya bervariasi ditentukan oleh jumlah dan ratio asam amino sanagat berpengaruh pada ruminansia karena sanagat membutuhkan asam amino dari bahan pakan, non protein nitrogen pada ruminansia dapat dimanfaatkan. Protein suplemen dapat berasal dari: tanaman beruap biji legum dan legum, dan dari hewan serta ikan. (Ristianto dan Soejono, 1992).

Bahan pakan konsentrat mempunyai karakteristik umum yaitu : 1) Carbonaceus concentrat adalah bahan pakan yang berenergi tinggi, terdapat pada biji-bijian yang hasil ikutannya berserat rendah kurang dari 18 % . Kualitas protein bervariasi tetapi biasanya rendah kurang dari 20 % mengandung phosfor cukup tinggi tetapi kalsium dan vitamin D rendah, namun vitamin B tinggi. 2) Proteinaceous adalah protein yang bervariasi ditentukan oleh jumlah dan rasio asam amino esensial yang berada dalam pakan., 3) Proteinaceous Roughages adalah pada umumnya berupa legum dengan karakteristik dapat memproduksi pakan yang palatable dalam jumlah banyak per hektar. Kandungan protein dan kalsium tinggi. Kandungan phosphor tinggi , kandungan vitamin A tinggi , dapat menaikkan kesuburan tanah dan dapat dikombinasikan dengan rumput, 4) Carbonaceous Roughages, , termasuk bahan ini adalah corn dan sorgum silages, sorgum pasture, corn cabs, corn slover, cain stalk dan straw atau jerami dan 5) adalah aditif material yaitu nutrien yang terdiri antibiotik hormon (Kamal, 1994).

DAFTAR PUSTAKA

Hartadi H., S. Reksohadiprojo, AD. Tilman. 1997. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Cetakan Keempat, Gadjah Mada Uivesity Press, Yogyakarta.

Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak I. Laboratorium Makanan Ternak Jurusan Nutrisi Makanan Ternak. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawiro Kusuma, dan S. Lebdosoekoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Lubis, D.A.1992. Ilmu Makanan Ternak. Cetakan Kedua. PT Pembangunan. Jakarta

Utomo, R dan Soedjono, M. 1999. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Analisis Proksimat

Menurut kamal (1998) disebut analisis proksimat karena hasil yang diperoleh hanya mendekati nilai yang sebenarnya, oleh karena itu untuk menunjukkan nilai dari system analisis proksimat selalu dilengkapi dengan istilah minimum atau maksimum sesuai dengan manfaat fraksi tersebut. Dari sisitem analisis proksimat dapat diketahui adanya 6 macam fraksi yaitu:1). Air, 2). Abu, 3). Protein kasar, 4). Lemak kasar (ekstrak ether), 5). Serat kasar, 6). Ekstrak Tanpa Nitrogen (ETN). Khusus untuk ETN nilainya dicari hanya berdasarkan perhitungan yaitu: 100% dikurangi jumlah dari kelima fraksi yang lain.

Cara ini dikembangkan dari Weende experiment station di Jerman oleh Henneberg dan Stocman pada tahun 1865, yaitu suatu metode analisis yang menggolongkan komponen yang ada pada makanan. Cara ini dipakai hampir di seluruh dunia dan disebut “analisis proksimat”. Analisis ini didasarkan atas komposisi susunan kimia dan kegunaannya (Tilman et al., 1998).

Air
Yang dimaksud air dalam analisis proksimat adalah semua cairan yang menguap pada pemanasan dalam beberapa waktu pada suhu 1050-1100C dengan tekanan udara bebas sampai sisa yang tidak menguap mempunyai bobot tetap. Penentuan kandungan kadar air dari suatu bahan sebetulnya bertujuan untuk menentukan kadar bahan kering dari bahan tersebut (Kamal, 1998).

Sampel makanan ditimbang dan diletakkan dalam cawan khusus dan dipanaskan dalam oven dengan suhu 1050C. Pemanasan berjalan hingga sampel tidak turun lagi beratnya. Setelah pemanasan tersebut sampel bahan pakan disebut sebagai sampel bahan kering dan penggunaanya dengan sampel disebut kadar air (Tillman et al., 1998).

Hijauan pakan segar berkadar air sangat tinggi, setelah dikeringkan 550C sampai beratnya tetap diperoleh bahan pakan dalam kondisi kering udara disebut juga berat kering, kering udara atau dry weight. Bahan pakan konsentrat pada umumnya berada pada kondisi kering udara dan sering disebut kondisi as fed (keadaan apa adanya) (Utomo dan Soejono,1999).

Abu
Yang dimaksud abu adalah sisa pembakaran sempurna dari suatu bahan. Suatu bahan apabila dibakar sempurna pada suhu 500-600ºC selama beberapa waktu maka semua senyawa organiknya akan terbakar menjadi CO2, H2O dan gas lain yang menguap, sedang sisanya yang tidak menguap inilah yang disebut abu atau campuran dari berbagai oksida mineral sesuai dengan macam mineral yang terkandung di dalam bahannya. Mineral yang terdapat pada abu dapat juga berasal dari senyawa organik musalnya fosfor yang berasal dari dari protein dan sebagainya. Disamping itu adapula mineral yang dapat menguap sewaktu pembakaran, misalnya Na (Natrium), Cl (Klor), F (Fosfor), dan S (Belerang), oleh karena itu abu tidak dapat untuk menunjukan adanya zat anorganik didalam pakan secara tepat baik secara kualitatif maupun kwantitatif (Kamal, 1998).

Penetuan kadar abu berguna untuk menentukan kadar ekstrak tanpa nitrogen. Disamping itu kadar abu dari pakan yang berasal dari hewan dan ikan dapat digunakan sebagai indek untuk kadar Ca (Kalsium) dan P (Fofsor), juga merupakan tahap awal penentuan berbagai mineral yang lain (Kamal,1998).

Protein Kasar
Protein kasar adalah nilai hasil bagi dari total nitrogen ammonia dengan faktor 16% (16/100) atau hasil kali dari total nitrogen ammonia dengan faktor 6,25 (100/16). Faktor 16% berasal dari asumsi bahwa protein mengandung nitrogen 16%. Kenyataannya nitrogen yang terdapat di dalam pakan tidak hanya berasal dari protein saja tetapi ada juga nitrogen yang berasal dari senyawa bukan protein atau nitrogen nonprotein (non–protein nitrogen /NPN). Dengan demikian maka nilai yang diperoleh dari perhitungan diatas merupakan nilai dari apa yang disebut protein kasar (Kamal,1998).

Serat Kasar
Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan kadar serat kasar yaitu asam sulfat (H2SO4 1,25%) dan natrium hidroksida (NaOH 1,25%). Piliang dan Djojosoebagio mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan serat kasar ialah sisa bahan makanan yang telah mengalami proses pemanasan dengan asam kuat dan basa kuat selama 30 menit yang dilakukan di laboratorium. Dengan proses seperti ini dapat merusak beberapa macam serat yang tidak dapat dicerna oleh manusia dan tidak dapat diketahui komposisi kimia tiap-tiap bahan yang mengandung dinding sel.

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
Ekstrak Tanpa Nitrogen dalam arti umum adalah sekelompok karbohidrat yang kecernaannya tinggi, sedangkan dalm analisis proksimat yang dimaksud Ekstrak Tanpa Nitrogen adalah sekelompok karbohidrat yang mudah larut dengan perebusan menggunakan asam sulfat 1,25% atau 0,255 N dan perebusan dengan menggunakan larutan NaOH 1,25% atau 0,313 N yang berurutan masing-masing selama 30 menit. Walaupun demikian untuk penentuan kadar Ekstrak Tanpa Nitrogen hanya berdasarkan perhitungan 100%- (%air+%abu+%serat kasar+%protein kasar+%lemak kasar). Ekstrak Tanpa Nitrogen dipengaruhi oleh kandungan nutient lainnya yaitu protein kasar, air, abu, lemak kasar dan serat kasar (Kamal, 1998).


DAFTAR PUSTAKA

Kamal, M. 1998. Nutrisi Ternak I. Rangkuman. Lab. Makanan Ternak, jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, UGM. Yogyakarta.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawiro Kusuma, dan S. Lebdosoekoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Utomo, R dan Soedjono, M. 1999. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Bahan Pakan Ternak


Pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan, dapat dicerna sebagian atau seluruhnya dan bermanfaat bagi ternak, oleh karena itu apa yang disebut pakan adalah segala sesuatu yang dapat memenuhi persyaratan tersebut di atas dan tidak menimbulkan keracunan bagi ternak yang memakannya (Kamal, 1994). Kebutuhan pakan terkait erat dengan jenis ternak, umur ternak, tingkat produksi. Konsumsi bahan kering (DW) pakan ditentukan oleh tubuh ternak. Macam ransum, umur, penyakit, lingkungan, kondisi ternak dan defisiensi nutrient tertentu (Tillman,1998).

Secara garis besar bahan pakan dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu air dan bahan kering. Bahan kering dibagi menjadi bahan organik dan bahan anorganik. Bahan organik terdiri dari karbohidrat, protein, lemak dan vitamin. Sedangkan bahan anorganik terdiri dari mineral saja (Tillman et al., 1998).

Berdasarkan sifat fisik dan kimia yang spesifik sesuai dengan kegunaannya maka ingredien dapat diklasifikasikan menjadi 8 kelas yaitu: Kelas 1) Hijauan kering dan jerami kering. Berupa hijauan pakan yang sengaja dipanen dan dikeringkan, dan juga berbagai jerami kering. Mengandung serat kasar > 18 % dan dinding sel yang tinggi > 35 % dalam bahan kering. Rendah kandungan energi, contohnya; hai rumput, hai hijauan, dan jerami kering. Kelas I2) Hijauan segar. Meliputi semua pakan yang diberikan berupa hijauan segar kepada ternak baik rumput alami maupun rumput budidaya, contohnya rumput segar. Kelas 3) Silase (silage). Meliputi berbagai hijauan pakan yang telah dipotong-potong dan telah mengalami proses fermentasi terkontrol, Contohnya silase rumput, dan silase hijauan legum. Kelas 4) Sumber energi. Meliputi berbagai bahan pakan yang mengandung protein kasar < 20 %, serat kasar < 18% atau dinding sel < 35 % dalam bahan kering termasuk silase, contohnya butiran sebangsa padi, dan berbagai umbi. Kelas 5) Sumber protein (konsentrat protein). Mengandung protein kasar > 20 % dalam bahan kering, contohnya tepung ikan, tepung daging, bijian sebangsa legum dan bungkilnya. Kelas 6) Sumber mineral (konsentrat mineral). Meliputi berbagai bahan pakan yang tinggi kandungan mineralnya, contohnya tepung tulang, tepung batu kapur, dan garam dapur. Kelas 7) Sumber vitamin (konsentrat vitamin). Meliputi berbagai bahan pakan yang tinggi kandungan vitaminnya dan termasuk preparat vitamin, contohnya minyak ikan, dan tablet vitamin B kompleks. Kelas 8) Additif pakan. Meliputi berbagai bahan yang tidak berfungsi sebagai sumber nutrien atau non nutrien. Digunakan dengan cara ditambahkan ke dalam pakan dalam jumlah sedikit dengan tujuan tertentu. Misalnya untuk memicu pertumbuhan, memicu produksi, memberi warna, memberi warna, memberi bau ataupun sebagai bahan pengisi. Contohnya antibiotika, obat-obatan, dan zat pewarna (Utomo dan Soejono,1999).

DAFTAR PUSTAKA

Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak I. Laboratorium Makanan Ternak Jurusan Nutrisi Makanan Ternak. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawiro Kusuma, dan S. Lebdosoekoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Utomo, R dan Soedjono, M. 1999. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.


Sabtu, 05 Februari 2011

Komoditas Ternak Kuda

Sistematika
Sistematika kuda menurut Blakely dan Bade (1992), memiliki urutan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata (hewan bertulang belakang)
Sub phylum : Vertebrata
Class : Mamalia (menyusui)
Ordo : Perisodactyla
Familia : Equidae
Genus : Equus
Species : Equus cabalus


Asal-usul

Sekitar 13 juta tahun yang lalu setelah kehadirannya hewan prakuda, muncullah leluhur kuda yang pertama kali diketahui sebagai Eohippus. Hewan tersebut ukurannya kecil juga, tidak lebih dari seekor serigala, tinggi pundaknya 25-45 cm, kaki depan mempunyai 3 jari tracak. Telinganya kecil tapi kompak, bulunya merupakan bulu furry seperti anjing, ekornya bergerak-gerak, mukanya panjang sehingga memberi tempat cukup untuk gigi yang banyak 44 buah. Karakteristik yang berbeda dari Eohippus bila dibandingkan dengan spesies toritis pendahulunya adalah arah pertumbuhan kakinya. Kaki merupakan adaptasi dari keadaan asli yang berjari lima, yang berubah menjadi empat. Satu jari depan mengalami retraksi menjadi splint (Blakely dan Bade, 1992).

Mesohippus. Sekitar 40 juta tahun yang silam, proses evolusi telah mengubah wujud kuda lebih drastis. Waktu jaman Ologocene, muncul hewan Mesohippus. Mesohippus tampil lebih besar dari pendahulunya, dengan tinggi pundak mempunyai 60 cm. Teracak kecil sudah mulai berkembangpada ketiga jarinya baik kaki depan maupun kaki belakang (Blakely dan Bade, 1992).

Merychippus. Semasa jaman Miocene yaitu sekitar 25 juta tahun yang lalu, muncullah spesies Merychippus sebagai kuda yang benar baru. Ini adalah jenis kuda dengan 3 jari yang penampilannya tegak, tingginya sekitar 100 cm dan mempunyai 3 jari baik pada kaki depan maupun kaki belakang (Blakely dan Bade, 1992).

Pliohippus. Kemudian sekitar 10 juta tahun yang lalu, semasa jaman Pliocene kuda berkembang menjadi Pliohippus. Leluhur kuda jenis ini mempunyai satu jari atau satu tracak pada tiap kakinya. Pliohippus merupakan hewan monodaktil (hewan bertracak tunggal) sejati yang pertama dalam sejarah evolusi (Blakely dan Bade, 1992).

Equus. Akhirnya sekitar 2 juta tahun yang lalu, kuda seperti yang kita kenal sekarang yaitu Equus caballus, muncul sebagai makhluk yang lebih besar. Namun sekitar 8 ribu tahun yang lalu, spesies Equus ini punah di daratan Amerika Serikat dan tidak muncul lagi sampai orang-orang Spanyol membawa kuda masuk ke benua Amerika pada tahun 1400-an (Blakely dan Bade, 1992).

Bangsa-bangsa Kuda

Kuda Batak. Kuda ini diketahui tersebar di Tapanuli Utara, terutama di sekitar danau Toba. Bentuknya menyerupai kuda Mongol. Tubuhnya kecil, tingginya kurang dari 1,20 m. Perimbangan tubuhnya baik. Hidung dari kuda ini besar, dan relatif panjang. Kepala sukar ditundukkan secara sempurna karena tengkuknya yang pendek, ekor duduknya tinggi, warna bermacam-macam, tipe kuda beban (Sosroamidjojo dan Soeradji, 1982).

Kuda Sumatra. Kuda ini umumnya berwarna coklat dn coklat tua kemerah-merahan dengan rambut ekor dan kaki bagian bawahnya hitam. Bentuk kepala agak besar denagn leher lebar dan pendek. Rambut kepala kasar dan berdiri. Kakinya langsing dan berbulu di bagian persendiannya (Nusyirwan, 1993).

Kuda American Saddle Horse. American Saddle Horse dikembangkan didaerah-daerah perkebunan di negara bagian Amerika Serikat. Hampir semua Amerika Saddle Horse adalah keturunan dari kuda Denmark yang sangat terkenal karena lomba sejauh 4 mil, yang dilahirkan pada tahun 1839. Karakteristik yang menonjol dari bangsa kuda ini adalah enak dinaiki untuk jarak jauh dan dapat dipekerjakan sambil membawa beban (Blakely dan Bade, 1992).

Kuda Arab. Kuda Arab mungkin berasal dari Mesir, tetapi telah dikembangkan di Arab sampai mencapai bentuk yang ada sekarang. Kemudian dikembang-biakan di Amerika Serikat sejak jaman penjajahan. Karakteristik yang menonjol dari kuda Arab adalah kecepatan daya tahan tubuhnya (stamina) dan kecantikannya. Kuda ini juga terkenal karena mempunyai sifat yang jinak, tampaknya lebih suka bersahabat (berdekatan) dengan manusia (Blakely dan Bade, 1992).



Kuda Hockney. Merupakan keturunan dari kuda jantan Thoroughbred yang disilagnkan denagn kuda betina asli Inggis di daerah Norfolk. Bangsa ini semula merupakan kuda tunggang, tetapi juga dipakai sebagai kuda pekerja (Blakely dan Bade, 1992).

Kuda Thoroughbred. Kuda Thoroughbred dikembangkan oleh keluarga raja Inggris sebelum diimpor ke Amerika. Karena penggunaan di Inggris, muncullah istilah “ olahraga raja” karena bangsawan Inggris baik laki-laki maupun wanitanya mengembangbiakan dan melombakan kuda ini yang penampilannya bagus sekali. Selain kecerdasannya, karakteristik yang menonjol adalah kecepatan lari dan daya tahannya (Blakely dan Bade, 1992).


Kuda Welsh Pony. Bangsa kuda Welsh berasal dari Wales. Daerah yang berat, bergunung-gunung dan tumbuh-tumbuhan yang jarang merupakan seleksi alam sehingga hanya yang paling tangguh saja yang dapat bertahan. Bangsa ini agak lebih besar dari Shetland dan juga terkenal sebagai kuda pony untuk pertunjukan dan sering disilangkan dengan Thoroughbred. Sering digambarkan sebagai kuda pelatih yang kecil, kuda ini juga berguna untuk pacuan, ternak kerja dan untuk berburu (Blakely dan Bade, 1992).

DAFTAR PUSTAKA

Blakely, J and David.H.Bade. 1992. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press. Yogjakarta.

Sosroamidjojo, M. Samad dan Soeradji. 1982. Peternakan Umum. C.V. Yasaguna: Jakarta.

Komoditas Ternak Kambing


Sistematika
Sistematika komoditas kambing adalah:
Phylum : Chordata
Sub phyluum : Vertebrata
Class : Mamalia
Sub class : Theria
Ordo : Artidactyla
Sub ordo : Pecara
Sub Class : Hacentalia
Genus : Capra
Famili : Capridae
Spesies : Capra hircus
Capra prica
Capra faleconeri
(Blakely and David, 1991).

Bangsa – bangsa dan Asal - usul
Kambing merupakan hewan-hewan pertama yang didomestikasi oleh manusia. Kambing berasal dari hewan liar (Capra Hircus Aegagrus), yang hidup didaerah yang sangat sulit dan berbatu. Diperkirakan pada permulaannya pemburu-pemburu pulang membawa anak kambing dari hasil buruannya. Anak-anak kambing itu dipelihara didesa sebagai hewan kasayangan, kemudian dimanfaatkan untuk diambil susu, daging dan kulitnya (Blakely and David, 1991).

Kambing sifatnya unik, karena mudah dipelihara, hanya memerlukan lahan yang tidak luas dan sangat tangguh. Kambing makan makanan yang tidak biasa dikonsumsi oleh hewan lain. Makanan utama kambing adalah tunas-tunas (semak-semak, ranting-ranting, gulma). Selain itu kambing sangat efisien dalam mengubah makanan berkualitas rendah menjadi produk yang bernilai tinggi. Jadi kambing menghasilkan produk-produk pertanian dari tanah yang tidak produktif menjadi produktif (Sarwono, 1993).

Kambing asli Indonesia


Kambing kacang memiliki ciri telinga kecil dan garis punggung lurus arah meninggi pada pangkal ekor. Kambing kacang mempunyai tubuh kecil kepala kecil dan ringan, kulit tipis bulu kasar, telinga pendek, tanduk kecil dan lurus serta kaku tegak dan kedepan samping, dan yang paling terpenting untuk ciri khusus dipunggung terdapat garis belut warna hitam (Supriono, 1993). Kambing jantan dewasa tingginya sekitar 60 sampai 75cm, bobot badannya sekitar 25kg, sedangkan tinggi betina dewasa sekitar 50 sampai 56cm dengan bobot rata-rata 20kg (Hardjosubroto, 1994).

Kambing import


Kambing Ettawa disebut juga kambing jamnapari, adalah jenis kambing yang sangat terkenal dan tersebar luas untuk produksi susu di India, Asia tenggara dan Negara-negara lain. Kambing ini besar, bertelinga panjang dan menggantung, profil muka cembung, warna bulu bervariasai, coklat hitam (Supriono, 2000).

Kambing Saanen. Kambing Saanen berasal dari lembah saanen di Swiss. Kambing ini sangat terkenal berwarna putih dengan bulu yang panjang atau pendenk. Telinganya tegak dan tajam. Kambing ini merupakan kambing asal Swiss yang terbesar dengan berat lebih dari 65 kg pada saat dewasa kelamin. Menonjol karena jumlah (produksi) susunya banyak, tetapi lemak susunya agak rendah (Blakely and Bade, 1991).

Kambing angora berasal dari Ankara, Turki. Daerah pegunungan dengan iklim kering dan temperature yang extrim. Baik yang jantan dan betina semua bertanduk dengan dahi terbuka dengan bulu yang panjang. Bulu kambing Angora disebut Mohair. Berat kambing jantan saat dewasa kelamin 55 sampai 80kg dan kambing betina mencapai dewasa kelamin dengan berat 35 sampai 40kg (Blakely and David, 1991).

Kambing persilangan.

Kambing PE. Kambing PE atau Kambing Peranakan Ettawa adalah salah satu bangsa kambing yang paling potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Kambing PE merupakan hasil persilangan antara Kambing Ettawa asal India dengan Kambing Kacang. Selain berpotensi sebagai penghasil daging, kambing PE pun cukup potensial untuk dikembangkan sebagai penghasil susu, dengan produksi susu berkisar antara 1-3 liter per ekor per hari (Heriyadi, 2004).

Kambing Jawarandu. Kambing Bligon sering juga disebut kambing Jawarandu, yang diduga merupakan hasil persilangan antara kambing Peranakan Ettawa (PE) dan kambing Kacang. Tanda karakteristik kambing Bligon diantara kambing PE dan kambing Kacang, badan lebih besar dari kambing Kacang dengan bobot dewasa 20-30 kg, telinga agak terkulai, profil muka agak cembung, kadang-kadang bulu pada paha sedikit jumbai (bulu kasar panjang). Tubuh padat berisi dengan produksi daging tinggi. Warna coklat/merah, putih, hirtam, dan kombinasi diantara ketiga warna tersebut (Basuki, 1998).

DAFTAR PUSTAKA
Basuki, P., Nono N. dan Gatot M..1998. Dasar Ilmu Ternak Potong dan Kerja. Laboratorium Ternak Potong dan Kerja. Fakultas Peternakan UGM: Yogyakarta.
Blakely, James dan David H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Heriyadi, Denie. 2004. Standar Mutu Bibit Kambing Peranakan Ettawa. Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dan Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Bandung.

Sarwono, B. 2003. Beternak Kambing Unggul. PT Penebar Swadaya. Jakarta


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger