Minggu, 20 Maret 2011

Jerami padi amoniasi


Jerami padi
Jerami padi adalah bagian batang tanaman setelah dipanen butir-butirr buah bersama/tidak dengan tangkainya dikurangi akar dan bagian batang yang tertinggal setelah disabit batanganya (Komar, 1984).

Jerami padi sebagai limbah pertanian mengandung nutrient yang sangat rendah yaitu protein kasra 4,1% dan dinding sel 86%, sehoinngga apabila diberikan pakan tunggal bagi ternak sulit untuk memenuhi kebutuhan ternak akan nutrient, walaupun pemeberiannya secara ad libitum (Dixon, 1986).

Dosis pemberian urea
Dosis urea yang ditaburkan ke dalam jerami jumlahnya sekira 4%-6% dari berat jerami. Dengan kata lain, setiap 100 kg jerami padi yang akan diamoniasi membutuhkan urea sebanyak 4-6 kg. Jika dosis urea yang ditaburkan ke dalam jerami terlalu banyak, maka urea tersebut tidak akan memberikan pengaruh signifikan terhadap nilai nutrisi pada jerami. (Schiere & Ibrahim,1989 cit Shieddiqi, 2005)

Jerami yang telah ditaburi urea harus segera dibungkus dengan rapat. Bahan pembungkus yang digunakan biasanya berupa lembaran plastik dengan ketebalan yang cukup memadai. Pembungkusan ini sangat penting dilakukan agar tercipta kondisi hampa udara (an-aerob). Proses amoniasi harus berlangsung tanpa kehadiran udara, sehingga pembungkusan harus dilakukan secara hati-hati. Untuk mencegah kebocoran, jerami yang telah ditaburi urea dapat dibungkus dengan lembaran plastik sebanyak dua lapis atau lebih (Schiere & Ibrahim,1989 cit Shieddiqi, 2005).

Proses amoniasi
Teknik amoniasi dapat mengubah jerami menjadi makanan ternak yang potensial dan berkualitas karena dapat meningkatkan daya cerna dan kandungan proteinnya. Sejumlah negara di dunia seperti, Tunisia, Mesir, dan Algeria telah melakukan teknik amoniasi jerami padi ini sejak lebih dari 15 tahun yang lalu (Chenost, 1997 cit Shieddiqi, 2005). Prinsip dalam teknik amoniasi ini adalah penggunaan urea sebagai sumber amoniak yang dicampurkan ke dalam jerami. Urea yang akan dicampurkan tersebut dapat dilarutkan ke dalam air terlebih dahulu (cara basah) atau langsung ditaburkan pada setiap lapisan jerami yang akan diamoniasi (cara kering). Pencampuran urea dengan jerami harus dilakukan dalam kondisi hampa udara (an-aerob) dan proses amoniasi jerami ini memerlukan penyimpanan selama satu bulan.
Teknik amoniasi dapat meningkatkan daya cerna jerami. Ternak akan lebih mudah mengonsumsi jerami hasil amoniasi dibandingkan dengan jerami yang tidak diolah. Urea dalam proses amoniasi berfungsi untuk menghancurkan ikatan-ikatan lignin, selulosa, dan silika yang merupakan faktor penyebab rendahnya daya cerna jerami bagi ternak. Lignin merupakan zat kompleks yang tidak dapat dicerna oleh ternak. Lignin ini terkandung dalam bagian fibrosa dari akar, batang, dan daun pada tumbuhan. Jerami dan rumput-rumput kering mengandung lignin yang sangat banyak (Chenost, 1997 cit Shieddiqi, 2005).

Selulosa adalah suatu polisakarida yang mempunyai formula umum seperti pati. Terdapat sebagian besar dalam dinding sel dan bagian-bagian berkayu dari tumbuh-tumbuhan. Kapas hampir merupakan selulosa murni. Selulosa tidak dapat dicerna dan tidak dapat digunakan sebagai bahan makanan kecuali pada hewan ruminansia (sapi, domba, dan kambing) yang mempunyai mikroorganisme selulotik dalam rumennya. Mikroba tersebut dapat mencerna selulosa dan memungkinkan hasil akhir dari pencernaan bermanfaat bagi si hewan (Anggorodi, 1984 cit Shieddiqi, 2005).

Faktor-faktor yang mempengaruhi amoniasi
Untuk menghasilkan jerami amoniasi yang berkualitas, maka dibutuhkan bahan yang berkualitas pula. Bahan dasar dari pembuatan jerami amoniasi ini adalah jerami padi yang tersisa setelah pemanenan. Jerami padi yang akan diamoniasi harus memenuhi beberapa kriteria yaitu, jerami harus dalam kondisi kering, tidak boleh terendam air sawah atau pun air hujan, dan harus dalam keadaan baik (tidak busuk atau rusak) (Shieddiqi, 2005). Jika telah diperoleh bahan jerami yang berkualitas, maka langkah selanjutnya adalah penimbangan dan pengikatan. Penimbangan dilakukan agar diperoleh jerami amoniasi yang sesuai dengan kebutuhan peternak. Sebelum diikat, jerami harus dimasukkan terlebih dahulu ke dalam kotak kayu berbentuk balok dengan tinggi sekira 50 cm. Kotak kayu tersebut berfungsi untuk mengemas jerami menjadi padat dan berbentuk balok sehingga akan memudahkan penanganan. Setelah diikat, jerami tersebut dapat dikeluarkan kembali dari kotak kayu (Shieddiqi, 2005).

Manfaat amoniasi
Manfaat dari pengolahan amoniasi adalah memotong ikatan rantai tadi dan membebaskan sellulosa dan hemisellulosa agar dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak. Amoniak (NH3) yang berasal dari urea akan bereaksi dengan jerami padi. Dalam hal ini ikatan tadi lepas diganti mengikat NH3 , dan sellulosa serta hemisellulosa lepas (Anonimus, 1985). Ini semua berakibat pada kecernaan meningkat, juga kadar protein jerami padi meningkat; NH3 yang terikat berubah menjadi senyawa sumber protein. Dengan demikian keuntungan amoniasi adalah kecernaan meningkat, protein jerami meningkat, menghambat pertumbuhan jamur dan memusnahkan telur cacing yang terdapat dalam jerami (Anonimus, 1985).

Teknik amoniasi dapat meningkatkan kualitas gizi jerami padi agar dapat bermanfaat bagi ternak. Teknik amoniasi ini dapat menambah kadar protein kasar (crude protein) dalam jerami. Kadar protein kasar tersebut diperoleh dari amoniak di dalam urea yang berperan dalam memuaikan serat selulosa. Pemuaian ini memudahkan penetrasi enzim selulosa dan meningkatkan kandungan protein kasar melalui peresapan nitrogen dalam urea. Jerami padi yang telah diamoniasi memiliki nilai energi yang lebih besar dibandingkan jerami yang tidak diolah. Proses amoniasi sangat efektif dalam menghilangkan alfatoksin dalam jerami. Jerami yang telah diamoniasi akan terbebas dari kontaminasi mikroorganisme jika jerami tersebut telah diolah dengan mengikuti prosedur yang benar secara hati-hati.


Daftar Pustaka

Anonimus.1985. Teknik Pengolahan Pakan Ternak Jerami. Direktorat Bina Produksi Peternakan. Ditjen Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Dixon , A. E. 1986. Increasing Digestive Energy Intake Of Ruminant Given Fibrouse Diet Supplement. In: Ruminant Feeding System Utilizing Fibrous Agricuktural Residues1985. IDP of Australia University And College Ltd.Canbera

Komar, A.1984. Teknologi Penglahan Jerami Padi Sebagai Pakan Ternak. Dian Grahita bandung.

Shiddieqy, M. Ikhsan . 2005. Pakan Ternak Jerami Olahan .Mahasiswa Departemen Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Unpad.

Gambar: google.com

Jerami Fermentasi

Probiotik
Menurut Agus et al (1999) di Indonesia dengan bioteknologi telah dihasilkan satu bahan berupa starter yang sering disebut dengan probiotik yang dapat digunakan untuik meningkatkan kecernaan jerami padi dengan cara fermentasi atau dapat digunakan secara langsung sebagai campuran dalam konsentrat. Kelebihan dari jerami fermentasi dengan menggunakan probiotik antara lain adalah mudah dan murah dalam pelaksanaannya, meningkatkan nilai cerna dan kadar protein kasar dan dapat disimpan dalam jangka waktu 6 bulan hingga 1 tahun.

Probiotik dapat meningkatkan produktivitas ternak tanpa menimbulkan efek samping. Secara umum probiotik kaya akan mikrobia selulolitik, lignolitik, proteolitik, amilolitik dan bakteri fiksasi N non simbiotik. Mikrobia lignolitik akan membantu pemecahan ikatan lignosesulosa sehingga selulosa dan lignin akan terlepas dari ikatan tersebut. Mikrobia selulolitik akan menghasilkan enzim selulase yang akan memecah selulosa menjadi selubiosa, selanjutnya akan dihidrolisis menjadi VFA. Mikrobia proteolitik akan menghasilkan enzim protease yang akan merombak protein menjadi polipeptida-polipeptida, selanjutnya menjadi peptide sederhana dan terakhir menjadi asam amino (Soeharto, 1995).

Proses fermentasi
Menurut McWhirter (1987) fermentasi adalah proses untuk menghasilkan berbagai produk dengan perantara atau dengan melibatkan mikrobia. Soejono (1998), upaya untuk meningkatkan nilai nutrisi jerami padi dapat diklasifikasikan dalam kategori perlakuan fisik, kimiawi, fisik kimiawi dan biologi. Perlakuan fisik seperti pemotongan (chopping) atau penggilingan (grinding) belum tentu mempengaruhi komposisi kimia jerami padi. Lebih lanjut dijelaskan (Utomo, 1999) Perlakuan biologi antara lain adalah pengomposan, fermentasi (ensilage), pertumbuhan jamur dan penambahan enzim.

Prinsip dasar dari proses fermentasi merupakan proses enzimatik, enzim dari mikroorganisme dapat menghidrolisis komponen dinding sel tanaman dalam bentuk selulosa dan hemiselulosa mejadi molekul yang lebih kecil disakarida dan monosakarida. Komponen tersebut selanjutnya digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan maupun kebutuhan hidup pokok mikroorganisme. Hal ini mengakibatkan selama proses fermnetasi tersebut akan terjadi kehilangan bahan organik. Namun demikian kalau sekiranya yang digunakan dalam proses hidrolisis dinding sel adalah selulosa maka kehilangan bahan organik dan bahan kering dapat dihindari (Hasyim, 1997).

Salah satu perlakuan kimia jerami adalah dengan menggunakan urea sebagai sumber amonia, dimana mempunyai fungsi melonggarkan ikatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa dan sebagai sumber nitrogen (N) untuk sintesis protein mikrobia probiotik pada saat pembuatan jerami padi fermentasi. Fermentasi mencakup semua proses, baik aerobik maupun anaerobik untuk mengahasilkan berbagai produk yang melibatakan aktivitas mikrobia. Penguraian berbagai senayawa organik sebagai hasil aktivtas mikrobia tidak harus selalu berlangsung dalam suasna aerob, tetpi dapt juga dalam suasana anaerob, tergantung mikrobianya (Darwis dan Sukara, 1990).

Fakor-faktor yang mempengaruhi
Proses fermentasi pakan yang dipengaruhi oleh beberapa factor yang saling tergantung satu sama lainnya, factor-faktor tersebut meliputi 1) karakteristik bahan yang digunakan meliputi kadar air, kadar karbohidrat terlarut, ukuran bahan dan aktivitas mikrobia 2) macam dan kadar bahan tambahan (Peppler, 1983)

Manfaat fermentasi
Melalui fermentasi diharapkan terjadi depolimerasi selulosa yang merupakan komponen serat utama, oleh berbagai enzim selulase mikrobia. Depolimerisasi adalah proses memisahkan senyawa makromolekuler d4engan berbagi cara menjadi senyawa yang relative lebih sederhana. Depolimerisasi mengakibatkan perubahan sebagian selulosa menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga fermentasi dalam rumen lebih cepat, dengan demikian meningkatkan utilitas dan konsumsi pakan (Widiyanto, 1996).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa perlakuan fermentasi padi dalam meningkatkan komposisi protein kasar yaitu dari 6,15% sampai 7,14% (Agus et al, 2000). Tujuan perlakuan fermentasi adalah meningkatkan manfaat pakan berserat (Van Soest et al, 1988)

Elly et al (1982) mengatakan bahwa penambahan inokulum bakteri isolate cairan rumen, jamur, bahan karbohidrat mudah larut, bahan suplemen additive pada jerami padi yang difermentasi dapat menambahkan kualitas nutrient dan kecernaannya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa penambahan berbagai macam material seperti tersebut diatas terhadap proses fermentasi jerami padi mempunyai beberapa tujuan antara lain 1) mempercepat produksi asam laktat, 2) meningkatkan nilai kecernaan, 3) meningkatkan nilai nutrisi, 4) meningkatkan palatabilitasnya.

Daftar Pustaka

Agus, A; R. Utomo dan Ismaya.1999. Penggunaan Probiotik Untuk Meningkatkan Nilai Nutrien Jerami Padi dan Efeknya Terhadap Kinerja Produksi Sapi Peranakan Ongole (PO). Laporan Hasil Penelitian. Lembga Penelitian UGM Bekerjasama dengan IP2TP. Badan Penelitian Dan Pengebangan Pertanian.

Darwis , A. A. Dan E. Sukarta. 1990. Teknologi Mikrobial. PAU Biotek. IPB Bogor.

Elly. L.O., J. Moon And E.M Sudweeks.1982. Chemical Evaluation Of Lactobacillus Addition To Alfalfa, Corn, Sorghum, And Wheat Forage At Ensiling. J. Dairy Sci. 65:1041-1046

Hasyim. 1997. Aplikasi Enzim Selulase Pada peningkatan Kualitas pakan Berserat. Thesis S-2. fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Mc Whirter, N.1987. The Macmillan Encyclopedia. 3th ed. Guild Publishing. London

Peppler, HJ.1983. Fermented Fee And Feed Supplement. In: Biotechnology. Vol 5-6. reed ed. Verlag Chemie. Weinhelm Deerfield Beach. Florida

Soeharto, B. Haryanto and Zaenuddin. 1995. Pemanfaatan Probiotik Dalam pakan Untuk Meningkatkan Efisiensi Pertanian. UNS Bekerjasama Dengan P4N. Badan Litbang Pertanian.

Soejono, A. M. Teknologi Pakan Untuk Ternak Ruminansia. Pidato Pengukuhan Guru Gesar Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Utomo.1999. Teknologi pakan hijauan. Jurusan Nutrisi Dan Makanan Ternak. Hand out. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Van Soest, P. J. 1994. Nutritional Ecology Of The Ruminant, Ruminant Metabolism, Nutritional Strategies. The Cellulolytic Fermentation and The Chemistry Of Forages and Plants Fibers, 2nd. O and Books. Inc . Corvalles. Oregon

Widiyanto .1996. Teknologi Amofer Untuk Meningkatkan Daya Guna Limbah Berserat Sebagi Pakan Ternak Ruminansia. Buletin Sintesis. Yayasan Dharma Agrika. Semarang. 7 (5):7-13.

Gambar: google.com

Urea Molasses Block (UMB)

Molasses merupakan bahan sisa dari industri gula yang banyak dijumpai di samping hasil utamanya. Dari berbagai bahan sisa yang dihasilkan industri gula, molasses merupakan bahan dasar yang berharga sekali untuk industri dengan fermentasi. Molasses adalah sejenis sirup yang merupakan sisa dari pengkristalan gula pasir. Molasses tidak dapat dikristalkan karena mengandung glukosa dan fruktosa yang sulit untuk dikristalkan. Molasses merupakan produk limbah dari industri gula di mana produk ini masih banyak mengandung gula dan asam-asam organik, sehingga merupakan bahan baku yang sangat baik untuk pembuatan etanol. Bahan ini merupakan produk sampingan yang dihasilkan selama proses pemutihan gula. Kandungan gula dari molasses terutama sukrosa berkisar 40-55% (Anonim, 2008)

Sifat fisika molasses yakni berwujud cairan berwarna hitam, memiliki sifat Brix 90,92 %, Pol 29,89 %, HK 32,88 %, dan TSAI 55,32 %. Sedangkan komposisi utamanya yakni sukrosa 38,94 %, glukosa 14,43 %, fruktosa 16,75 %, abu 11,06 %, dan air 18,82 %. Sifat kimia molasses mengandung banyak karbohidrat sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku proses fermentasi alkohol maupun fermentasi lain (Purwanto, 2008)

Bahan utama untuk membuat UMB adalah molasses sebagai sumber energi. Molases merupakan bahan pakan sumber energi karena banyak mengandung pati dan gula. Kecernaanya tinggi dan bersifat palatable. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar airnya 78-86%, gula 77%, abu 10,5%, protein kasar 3,5%, dan TDN 72% (Utomo dan Soejono, 2001).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. http://www.whfoods.com. Molase (Limbah Tebu yang Bermanfaat). Diakses pada tanggal 26 April 2010.

Purwanto, Teguh. 2008. Laporan Tugas Prarancangan Pabrik. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Utomo, R., dan Soejono, M. 1999. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Hand Out. Laboratorium Teknologi Makanan Ternak. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Gambar: google.com

Telur


Telur merupakan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi, yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Disamping mengandung kadar protein yang tinggi, telur juga merupakan sumber zat besi, beberapa mineral lain dan vitamin, sehingga telur merupakan bahan pangan hewani yang dapat dikonsumsi oleh manusia pada segala umur (Triatmojo, 2001).

Telur memiliki struktur yang khusus, karena di dalamnya terkandung zat gizi yang sebetulnya disediakan untuk perkembangan sel telur yang telah dibuahi menjadi seekor anak ayam. Bagian esensial dari telur adalah albumin (putih telur), yang mengandung banyak air dan berfungsi ebagai peredam getaran. Secara bersama-sama albumin dan yolk (kuning telur) merupakan cadangan makanan yang siap digunakan oleh embrio. Telur dibungkus atau dilapisi oleh kerabang yang berfungsi sebagai pelindung terhadap gangguan fisik, tetapi juga mampu berfungsi untuk pertukaran gas untuk respirasi (pernafasan). Kerabang (termasuk di dalamnya selaput kerabang), berdasarkan berat telur keseluruhan tidak selalu terdistribusi sama pada spesies bangsa burung yang berbeda, tetapi dalam satu spesies komposisi 3 bagian tesebut relatif selalu sama (Triatmojo, 2001).

Telur unggas pada dasarnya dibedakan menjadi dua kelas. Perbedaannya terletak pada perbandingan relatif antara yolk dengan albumin. Telur-telur dengan berat yolk sekitar 21-40% dari berat telur secara keseluruhan, termasuk dalam kelas telur dari spesies burung precoxial. Sedangkan telur dengan berat yolk sekitar 15-20% dari berat secara keseluruhan termasuk spesies itik, ayam, turkey (kalkun), dan angsa. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok altricial antara lain dari spesies golden eagle, merpati, dan robin (Triatmojo, 2001).

Telur tesusun atas sebagian besar air. Bahan padat terdiri dari bahan organik yaitu protein, lipida dan karbohidrat, sedangkan bahan anorganik tersusun atas mineral (abu). Rata-rata komposisi kimia telur, ditunjukkan pada tabel. Bagian terbesar dari isi telur adalah air, terdapat sekitar 75% dari berat isi telur. Selanjutnya diikuti bahan organik, yang terdiri atas protein, lipida, masing-masing 12% dan karbohidrat dalam jumlah kecil, yaitu 1%. Bahan anorganik terdapat sekitar 1% dari berat isi telur (Triatmojo, 2001).

Telur mengandung kuning telur kira-kira 30 %, putih telur atau albumin 60%, kerabang 10%. Albumin mengandung 85% air, 11% protein dan 1% karbohirat, sedangkan kuning telur yang bertindak sebagai cadangan makanan mengandung air 48%, protein 17%, lemak 33%, karbihidrat 1%, dan abu. Perkembangan telur dimulai di ovarium dengan terbentuknya bagian kuning telur. Ovarium mengandung banyak ova dan tiap ovum tertutup folikel. Kelihatannya kuning-kuning telur ditimbun secara berlapis di permukaan folikel (Tillman, 1991).

Zat makanan pada putih telur yang terbanyak adalah protein albumin dan paling sedikit adalah lemak. Sedangkan pada kuning telur porsi terbanyak adalah lemak dan bagian yang paling sedikit adalah hidrat arang. Dengan kata lain, putih telur merupakan sumber lemak. Pada kuning telur juga ditemukan vitamin A dalam jumlah banyak (Hadiwiyoto, 1993). Pada telur: Pigmen yolk, lipochrome, lyochrom, pigmen albumen, pigmen selaput kerabang, pigmen kerabang. (Triatmojo,2001).

Daftar pustaka

Tillman, Allen D., Han, Hartadi., Soedomo, Reksohadiprojo, 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogykarta.

Triatmojo , S., Soepomo, Rihastuti, Indratiningsih, 2001. Dasar THT. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Gambar: google.com

Susu

Susu dipandang dari segi peternakan adalah suatu sekresi kelenjar susu dari sapi yang laktasi atau ternak yang sedang laktasi, dan dilakukan pemerahan dengan tidak termasuk kolostrum serta tidak ditambah atau dikurangi oleh suatu komponen. Susu dari segi kimiawi mengandung zat kimia organis maupun anorganis berupa zat padat , air dan zat yang larut dalam air, zat tersebut adalah protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, dan enzim. Susu dari segi gizi berhubungan dengan kebutuhan makanan yaitu suatu zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk pertumbuhan dan mempunyai timbangan yang sesuai dengan gizi (Triatmojo, 2001).

Sifat susu yang perlu diketahui adalah bahwa susu merupakan media yang baik sekali bagi pertumbuhan mikrobia sehingga apabila penanganannya tidak baik akan dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya. Disamping itu susu sangat mudah sekali menjadi rusak terutama karena susu merupakan bahan biologis. Susu yang baik mengandung bakteri dalam jumlah sedikit, tidak mengandung spora mikrobia patogen, bersih yaitu tidak mengandung debu atau kotoran lainnya, mempunyai cita rasa (flavour) yang baik, dan tidak dipalsukan. (Hadiwijoyo,1983).

Pada umumnya air susu yang dihasilkan oleh sapi mengandung enzim lipase yang tidak aktif karena enzim tersebut tidak mengadakan kontak langsung dengan substratnya tetapi dalam keadaan tertentu lipase yang terdapat dalam keadaan tersebut dapat bersifat aktif, sehingga dapat menghidrolisa lemak secara spontan dan terjadilah peristiwa ransiditas yang spontan.

Mineral dalam susu kurang lebih 0,7%, mengandung potassium, kalsium, fosfor, khlorin, sodium, mangan dan sulfur. Vitamin yang terkandung dalam susu adalah vitamin A1, B1, B2, B6, asam pantotenat, vitamin C, D, E, K (Triatmojo, 2001).

Susu yang baik berwarna putih, bersih, sedikit kekuning-kuningan, dan tidak tembus cahaya. Warna ini tergantung bangsa ternak, pakan yang diberikan, lemak dalam susu, dan bahan padat. Apabila diberikan pakan hijauan segar lebih banyak maka kandungan lemak dalam susu tinggi, dan apabila kandungan karoten tinggi maka warna susu menjadi kekuning-kuningan. Susu yang berwarna kemerah-merahan tidak normal, kemungkinan berasal dari sapi yang sakit. (Triatmojo, 2001).

Derajat keasaman susu menurut Dirjen Perternakan tahun 1983 sebesar 4,5-7° soxiet henkle (sh). Derajat keasamam tersebut adalah angka yang menunjukkan jumlah mililiter larutan NaOH 0,25 N yang dibutuhkan untuk menetralkan 100 ml susu dengan 2 ml pp sebagai indikator. Susu segar pada umumnya memiliki pH sebesar 6,5 sampai 6,7. Nilai pH yang lebih tinggi dari 6,7 menunjukkan kelainan yaitu adanya mastitis pada sapi. Apabila pH dibawah 6,5 kemungkinan susu tersebut susu kolostrum atau susu telah rusak karena adanya bakteri (Triatmojo, 2001).

Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai pH yaitu pengenceran dan pemanasan. Pengenceran dapat sedikit menaikan pH dan menurunkan keasaman. Pemanasan dapat mengakibatkan tiga perubahan yaitu: 1) Kehilangan CO2 yang dapat mengakibatkan menurunnya keasaman dan menaikan pH, 2) Adanya transfer Ca dan fosfat ke koloidal sehingga dapat sedikit menurunkan keasaman dan menaikan nilai pH, 3) Pemanasan yang drastis dapat menghasilkan asam dari degradasi laktosa.

Zat makanan yang ada dalam susu berada dalam tiga bentuk yaitu larutan sejati (karbohidrat, garam anorganik dan vitamin), larutan koloidal (protein dan enzim), dan yang terakhir sebagai emulsi (lemak dan senyawa yang ada hubungannya dengan lemak seperti gliserida). Lemak terdapat dalam emulsi biasanya berbentuk globula. Komposisi susu adalah laktosa, berkisar antara 4,9 sampai 5%, protein berkisar antara 3,3 sampai 3,5 dan abu berkisar antara 0,69 sampai 7 % (Triatmojo, 2001).

Lemak susu (gliserida) pada ternak herbivora, terutama ruminansia mengandung banyak asam-asam rantai pendek, dengan panjang berkisar antara 4 sampai 14 atom karbon. Asam-asam lemak rantai pendek ini tidak secara umum terdapat di cadangan atau depot lemak didalam jaringan adiposa hewan. Lemak susu dapat dibentuk dengan pemecahan rantai asam lemak yang panjang yang terdapat di dalam darah yang bersirkulasi atau melalui sintesis zat-zat prekursor. Asam-asam lemak butirat sampai palmirat sebagian besar disintesis di dalam kelenjar mamae, mulai dari asam asetat atau β-hidroksibutirat. Kemudian dengan penambahan fragmen 2 atom karbon dari asetil ko- A, asam lemak dengan rantai panjang dan rantai pendek terbentuk. Akan tetapi, semua asam-asam C-18 datangnya dari sumber-sumber selain sintetis di dalam kelenjar mamae. (Frandson, 1992).

Lemak air susu adalah suatu campuran trigliserida–trigliserida yang mengandung asam-asam lemak jenuh dan tak jenuh. Komposisi lemak pada spesies hewan adalah spesifik, namun pada umumnya, lemak air susu ternak ruminansia mengandung proporsi asam lemak jenuh bermolekul rendah lebih tinggi, terutama asam butirat. Gliserol dari lemak air susu diserap langsung dari darah langsung ke dalam air susu dan beberapa disintesa dalam kelenjar susu dari glukosa darah. Pada ternak ruminansia, banyak asam-asam disintesis dalam kelenjar dari glukosa dan asam asetat darah sedang pada ternak ruminansia asam asetat dan asam beta-hidroksi butirat darah digunakan untuk mensintesis sebagian besar asam-asam lemak (Triatmojo, 1991).

Protein dalam susu sebesar 2,8% sampai 4,0% terdiri atas kasein 80%, laktabumin 18%, dan laktaglobulin 0,05% sampai 0,07%. Protein akan mengalami koagulasi apabila dipanaskan, suasana asam atau oleh adanya enzim protease (Triatmojo,2001).

Daftar pustaka

Hadiwiyoto, Soewedo, 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty. Yogyakarta.

Triatmojo , S., Soepomo, Rihastuti, Indratiningsih, 2001. Dasar THT. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Gambar: google.com

Hay


Hay adalah hijauan makanan ternak yang sengaja dipotong dan dikeringkan agar bisa diberikan kepada ternak pada kesempatan yang lain AAK (1990). Hay adalah tanaman hijauan pakan ternak (dapat berupa rumput-rumputan / leguminosa) yang disimpan dalam bentuk kering dengan kadar air antara 20% - 30%. Pembuatan hay bertujuan  menyeragamkan waktu panen sehingga tidak mengganggu pertumbuhan pada periode berikutnya (Kartadisastra, 1997).

Rumput gajah
Tanaman Pennisetum purpuroides. Rumput gajah hibrida atau King grass (Pennisetum purpuroides) adalah jenis rumput baru yang merupakan hasil persilangan antara Pennisetum purpureum (rumput gajah) dengan Pennisetum typoides (Siregar, 1988). Cheng (1984) menyatakan bahwa Pennisetum hibrida adalah hasil hibridisasi yang merupakan hibrid inter spesefik.

Menurut Reksohadiprodjo (1985), rumput gajah mempunyai sistematika sebagai berikut :

Phyllum: Spermatophyta
SubPhyllum: Angiospermae
Classis: Monocotyledoneae
Ordo: Glumiflora
Familia: Gramineae
SubFamilia: Panicurdeae
Genus: Pennisetum
Species: Pennisetum hibrida, Pennisetum purpureum

Sifat dan ciri tumbuh tanaman Pennisetum purporoides adalah tumbuh tegak membentuk rumpun, berumur panjang, pengakaran sangat dalam, tinggi dapat mencapai 2 sampai 4 m, daun lebar dan panjang, batang keras dan lebar pada yang sudah tua, tulang daun agak keras dan bersifat mengandung rasa manis dan lebih tahan kering (BIP Lembang, 1988).

Faktor yang mempengaruhi  kualitas hay
Faktor–faktor yang harus diperhatikan untuk memperoleh hay yang berkualitas baik antara lain masa potong hijauan, cara penanganan dan kondisi cuaca. Hal-hal yang harus diperhatikan salah satunya adalah cara menyimpan hay. Apabila hay disimpan dengan cara dimampatkan dalam kondisi agak basah dan lembab, akan menimbulkan panas spontan yang besarnya bervariasi. Jika ukuran mampatan kecil dan longgar serta saluran udara banyak, maka pengeringan akan berlangsung dengan baik. Hijauan kering yang disimpan dengan cara dimampatkan, dengan ukuran besar dan padat akan menghambat pengeluaran cairan dan panas. Panas yang berlebihan akan menimbulkan reaksi pencoklatan (browning reaction) sehingga hijauan tersebut akan kehilangan karbohidrat dan protein tercerna. Selain itu pencucian (leaching) kemungkinan terjadi, oleh karena itu sebisa mungkin hay dihindarkan dari air hujan. Akibat dari pencucian adalah meningkatnya kadar serat kasar tidak tercerna serta lignin, kehilangan pigmen, aktivitas vitamin A menurun sehingga aktivitas vitamin D terhambat karena pengaruh sinar ultra violet.

Metode pembuatan hay yang diterapkan ada dua yaitu 1) metode hamparan metode ini merupakan yang sederhana yaitu pembuatan hay yang dilakukan dengan cara menghamparkan hijauan yang sudah dipotong di lapangan terbuka dibawah sinar matahari. Kadar air hay yang dibuat dengan metode ini mempunyai kadar air antara 20% samapai 30% yang ditandai dengan warnanya yang kecoklat-coklatan, 2) metode pod, metode ini menggunakan semacam rak sebagai tempat menyimpan hijauan yang telah dijemur selama 1 sampai 3 hari (kadar air <50%) (Kartadisastra, 1997).

Metode pembuatan hay yang terpentimng adalah hijauan yang akan diolah sebaiknya dipanen pada saat menjelang berbunga ketika kandungan proteinnya tinggi dengan serat kasar dan kadar airnya optimal (Kartadisastra, 1997).

Manfaat hay
Menurut AAK (1990), manfaat hay antara lain sebagai penyedia makanan ternak pada saat-saat tertentu, misalnya di masa-masa paceklik dan bagi ternak selama dalam perjalanan; memanfaatkan hijauan pada saat pertumbuhan terbaik tetapi saat itu belum dimanfaatkan.

Manfaat pembuatan hay antara lain adalah menyediakan pakan yang akan dapat digunakan pada musim paceklik, menampung kelebihan produksi pakan hijauan, memanfaatkan hijauan pada saat pertumbuhan terbaik tetapi saat itu belum digunakan secara langsung, dan mendayagunakan hasil limbah pertanian maupun hasil ikutan pertanian (Susetyo, 1980).

Daftar Pustaka

AAK. 1990. Hijauan Makanan Ternak. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

BIP. 1990. Mengenal Hijauan Makanan Ternak. Balai Informasi Pertanian Jawa Timur. Surabaya

Cheng, Y. K. 1984. Breeding of Napier Grass / Pearl Millet Hybrid in Taiwan: Asian Pasture FFTC. Taiwan. RRC

Kartadisastra, H. R. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia. Kanisius. Yogyakarta.

Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik Edisi Revisi Cetakan ke-1. BPFE. Yogyakarta

Siregar, M. E. 1989. Produksi Hijauan dan Nilai Nutrisi Tiga Jenis Rumput Pennisetum dengan Sistem Potong Angkut. Dalam Proceding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Puslitbang Peternakan. Balitbang Peternakan. Departemen Pertanian

Susetyo, S. 1980. Hijauan Makanan Ternak. Direktorat Peternakan Rakyat. Dirjen Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta

Gambar: google.com

Glikogenolisis

Glikogenolisis berlangsung dengan jalur yang berlainan. Dengan adanya enzim fosforilase, fosfat anorganik melepaskan sisa glukose non mereduksi ujung dalam satu persatu untuk menghasilkan D-glukose fosfat 1-fosfat. Proses glikogenolisis merupakan proses pemecahan glikogen yang berlangsung lewat jalan yang berbeda, tergantung pada proses yang mempengaruhinya. Molekul glikogen menjadi lebih kecil atau lebih besar, tetapi jarang apabila ada molekul tersebut dipecah secara sempurna. Meskipun pada hewan, glikogen tidak pernah kosong sama sekali. Inti glikogen tetap ada untuk bertindak sebagai aseptor bagi glikogen baru yang akan disintesis bila diperoleh cukup persediaan karbohidrat. Sekitar 85% D-glukose 1-fosfat, sedang 15% dalam bentuk glukose bebas (Montgomery et al., 1983).

Proses pada saat makan, hati dapat menarik simpanan glikogennya untuk memulihkan glukosa di dalam darah (glikogenolisis) atau dengan bekerja bersama ginjal, mengkonversi metabolit non karbohidrat seperti laktat, gliserol dan asam amino menjadi glukosa. Upaya untuk mempertahankan glukosa dalam konsentrasi yang memadai di dalam darah sangat penting bagi beberapa jaringan tertentu, glukosa merupakan bahan bakar yang wajib tersedia, misalnya otak dan eritrosit (Murray et al., 2000).

Proses dimulai dengan molekul glukosa dan diakhiri dengan terbentuknya asam laktat. Serangkaian reaksi-reaksi dalam proses glikolisis tersebut dinamakan jalur Embeden-Meyerhof. Reaksi-reaksi yang berlangsung pada proses glikolisis dapat dibagi dalam dua fase. Pada fase pertama glukosa diubah menjadi triosafosfat dengan proses fosforilasi. Fase kedua dimulai dari proses oksidasi triosafosfat hingga terbentuk asam laktat. Perbedaan antara kedua fase ini terletak pada aspek energi yang berkaitan dengan reaksi-reaksi dalam kedua fase tersebut (Poedjiadi, 1994).

Terdapat tiga jalur penting yang dapat dilalui piruvat setelah glikolisis. Pada organisme aerobik, glikolisis menyusun hanya tahap pertama dari keseluruhan degradasi aerobik glukosa menjadi CO2 dan H2O. Piruvat yang terbentuk kemudian dioksidasi dengan melepaskan gugus karboksilnya sebagai CO2, untuk membentuk gugus asetil pada asetil koenzim A. Lalu gugus asetil dioksidasi sempurna menjadi CO2 dan H2O oleh siklus asam sitrat, dengan melibatkan molekul oksigen. Lintas inilah yang dilalui piruvat pada hewan aerobik sel dan tumbuhan (Leehninger, 1991).

Glukosa dimetabolisasi menjadi piruvat dan laktat di dalam semua sel mamalia melalui lintasan glikolisis. Glukosa merupakan substrat yang unik karena glikolisis bisa terjadi dalam keadaan tanpa oksigen (anaerob), ketika produk akhir glukosa tersebut berupa laktat. Meskipun demikian, jaringan yang dapat menggunakan oksigen (aerob) mampu memetabolisasi piruvat menjadi asetil koenzim A, yang dapat memasuki siklus asam sitrat untuk menjalani proses oksidasi sempurna menjadi CO2 dan H2O dengan melepasan energi bebas dalam bentuk ATP, pada proses fosforilasi oksidatif (Murray et al., 2000).

Daftar Pustaka

Lehninger, A.L. 1991. Dasar-dasar Biokimia. Jilid 2. Erlangga. Jakarta

Montgomery, R., R.L. Dryer, T.W. Conway and A.A. Spector. 1983. Biokimia. Jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Murray, R.K., D.K. Granner, P.A. Mayes and V.W. Rodwell. 2000. Biokimia Harper. Edisi 25. Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.

Poedjiadi, A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. UI Press. Jakarta.

Gambar: google.com

GAS PRODUK FERMENTASI RUMEN


Produksi gas merupakan hasil proses fermentasi yang terjadi di dalam rumen yang dapat menunjukkan aktivitas mikrobia di dalam rumen serta menggambarkan banyaknya bahan organik yang tercerna. Selain itu produksi gas yang dihasilkan dari pakan yang difermentasi dapat mencerminkan kualitas pakan tersebut (Ella et al., 1997).

Proses fermentasi di dalam rumen dipertahankan oleh karena adanya sekresi saliva yang berfungsi mempertahankan nilai pH pada kisaran 6,5 – 7,0. Kondisi rumen yang anaerob, suhu rumen yang konstan dan adanya kontraksi rumen dapat menyebabkan kontak antara enzim dan substrat menjadi meningkat dan laju pengosongan rumen diatur sedemikian rupa sehingga setiap saat selalu mempunyai isi (Darwis et al., 1990).

Salah satu metode invitro yaitu menggunakan teknik produksi gas dimana metode ini mengukur produksi gas yang dihasilkan selama inkubasi sampel. Pada prinsipnya teknik produksi gas merupakan jumlah gas yang dihasilkan jika bahan pakan diinkubasi secara invitro dengan cairan rumen. Produksi gas mempunyai hubungan erat dengan nilai kecernaan suatu bahan pakan ternak ruminansia (Nuswantura, 2000)

Proses fermentasi di dalam rumen merupakan hasil dari aktifitas mekanik dan biologi yang mengubah komponen pakan menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh ternak seperti Volatile Fatty Acids (VFA), dan protein mikrobia (Church, 1988). Penetapan degradasi secara invitro adalah metode laboratorium yang prinsipnya meniru sistem pencernaan pada ruminansia yaitu dengan menginkubasikan sampel pakan ke dalam cairan rumen dan ditambahkan larutan buffer yang telah disiapkan dan proses tersebut berjalan secara anaerob. Tahap berikutnya adalah mengasamkan sampel dengan penambahan HCl yang kemudian sampel akan mengalami proses hidrolisis protein tercerna dengan pepsin selama 48 jam (Tillman et al., 1998).

Fermentasi adalah proses biologis yang menghasilkan komponen-komponen dan jasa sebagai akibat adanya pertumbuhan maupun metabolisme mikroba anaerob (Muchtadi et al.,1992). Metode pengukuran gas invitro dapat untuk mengestimasi besarnya nilai degradasi bahan pakan yaitu relasi fraksi yang mudah larut, nilai fraksi yang potensial terdegradasi dan laju degradasi fraksi pakan. Teknik prouduksi gas fermentasi dikembangkan untuk mencari hubungan antara profil produksi gas suatu feed intake, kecepatan pertumbuhan (Jessop dan Nerreru, 1996).

Penambahan bahan campuran buffer pada pakan dilakukan dengan tujuan untuk mengontrol Ph rumen sehingga fermentasi bisa berjalan normal pada ternak dengan pakan konsentrat (SO7), sehingga bisa terhindar dari metabolisme yang tidak dikehendaki seperti acidosis, sindrom rendah lemak (Neve, 1991). Komponen buffer yang biasa digunakan adalah NaHCO3, Na2CO3, MSO (Van Nevel, 1991).

Mikrobia rumen sangat membutuhkan nitrogen untuk kelangsungan hidup serta meakukan aktifitas normal. Sekitar  80% kebutuhan mikrobia rumen akan N2 diperolah melalui gas amonia. Pada ternak yang diberi pakan basa rendah kandungan N2 sebagian besar sumber amonia diperoleh dari daur ulang metabolisme nitrogen melalui saliva. Kadar amonia cairan rumen memegang peranan penting bagi kehidupan (Stanbury, 1984).

Pertumbuhan mikrobia dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan nutrisi (Nester et al., 1983). Faktor lingkungan meliputi temperatur, Ph, udara, dan tekanan osmotik. Semua bentuk karbohidrat yang ada dalam bahan pakan yang diberikan pada ternak ruminansia akan mengalami degradasi ke arah yang lebih sederhana atau menjadi unit-unit yang lebih kecil karena adanya mikrobia rumen dan akan menghasilkan Vollatile Fatty Acid (VFA) dan gas yang terdiri dari CO2, CH4, dan sedikit H2. Semakin banyak karbohidrat yang mudah terfermentasi oleh mikrobia rumen maka akan meningkatkan produksi gasnya. Sekitar 40% dari volume gas yang dihasilkan dari fermentasi terdiri dari CO2 dan CH4 (Blummer dan Orskov, 1993)

Kebutuhan asam amino pada ternak ruminansia untuk hidup dan produksi dapat dipenuhi dan ketersediaan asam amino di usus halus, dapat berasal dari mikrobia dan protein endogen. Protein pakan yang masuk ke dalam rumen sebagian terdegradasi kemudian mengalami proteolisis oleh bakteri dan mangalami deaminasi yang menghasilkan NH3. Jika konsentrasi amonia terhambat akibatnya nilai degradasi akan menurun( Soedono et al., 1985)


Daftar Pustaka

Blummer, M and Orskov, I. R. 1993. Comparison of invitro gas production      and nylon bag degrdability of roughages in predicting feed intake in       cattle animal feed science and technology. 40: 109-119

Chruch, D. C. 1988 The Ruminant Animal Digestive Physiology and Nutrition. Prentice Hall. New Jersey. Pp =67-69

Darwis, A. A. dan E. Sukara. 1990. Teknologi Mikrobial. Departemen P dan K. Dirjen Pendidikan Tinggi. PAU Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor.

Ella, A. S. Hardjosoewignya, T. R. Wiradaryadan dan M. Winugroho. 1997. Pengukuran Produksi Gas dari Hasil Proses Fermentasi Beberapa Jenis Leguminosa Pakan. Dalam : Prosidins Sem. Nas II-INMT Ciawi, Bogor.


Jesssop, N. S. And Nerrero M. 1996. Influence of Soluble Components on Parameter estimation using the invitro gas production technique, J. Anim, Sci. 62:621-627


Nester, E.W., C.E. Robert, M.E. Lidstrom, N. Pearsall and NIT. Nester. 1983.Microbiology. 3 rd edition. Sovelers Coolese Publishing.         Philadelphia)

Nuswantura, L. K. 2000 Parameter Fermentasi Rumen dan Sintesis Protein Mikrobia pada Sapi Peranakan Ongole dan Kerbau yang diberi Pakan Tunggal Glirisida, Jerami Jagung dan Kaliandra. Tesis. Unversitas Gajah Mada. Yogyakarta. Pp = 55-56

Stanbury, P. F. And A Whitaker. 1984. Principles of Fermentation        Technology Pergamon Press New York

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohardiprodjo, A. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-6. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Van Nevel, C. J. 1991. Modification of Rumen Fermentation by use at additivies. In : Rumen Mikrobial Metabolism and Ruminant Bigestion. E D : J. P. Jouany. INRA. Paris. Pp : 263-280

gambar: google.com

Sabtu, 19 Maret 2011

Darah

Darah adalah jaringan yang beredar dalam sistem pembuluh darah yang sebenarnya tertutup. Darah terdiri dari elemen-elemen padat yang terdapat pada medium cair (plasma). Pada pembekuan darah, bekuan darah dibentuk oleh protein (fibrinogen) yang terdapat di dalam bentuk larut dalam plasma dan diubah menjadi jaringan berserabut yang tidak larut (fibrin, substansi bekuan darah) (Frandson, 1983).

Sebagian besar sel-sel darah beredar di dalam pembuluh-pembuluh, akan tetapi sel darah putih dapat bermigrasi melintas dinding pembuluh darah guna melawan infeksi (Frandson, 1996).

Darah dianggap sebagai jaringan khusus yang mengalami sirkulasi, terdiri dari sel-sel yang terendam dalam plasma darah. Berbeda dengan jaringan lain, sel-selnya tidak menempati ruang tetap satu dengan yang lain, tetapi bergerak terus dari satu tempat ke tempat yang lain. Aliran darah dalam seluruh tubuh menjamin lingkungan yang tetap, agar semua sel serta jaringan mampu melaksanakan fungsinya. Jadi fungsi utama darah adalah mempertahankan homeostasis. Berbagai bentuk sel darah berasal dari sel induk (stem cells) dalam sumsum tulang dan memasuki aliran darah untuk memenuhi kebutuhan tertentu pada hewan (Brown, 1989).

Daftar Pustaka

Brown, Esther M. and H. Dieter Dellman. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner, edisi ketiga, hal 108. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta

Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger