Sabtu, 05 Februari 2011

Biogas


Menurut Triatmojo (2004), gas bio adalah campuran gas metan, NOx, dan CO2 sebagai hasil perombakan limbah organik secara anaerob di dalam digester atau reaktor oleh campuran berbagai kelompok mikroorganisme diantaranya adalah bakteri hidrolitik atau fermentatif, bakteri penghasil asetat dan bakteri metanogenik, sedangkan menurut Simamora (1989), gas bio adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas yang dominan adalah gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2). Gas bio memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu berkisar antara 4800 sampai 6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100 %) mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m3. Menurut Maramba (1978) produksi gas bio sebanyak 1275 sampai 4318 liter dapat digunakan untuk memasak, penerangan, menyeterika dan mejalankan lemari es untuk keluarga yang berjumlah lima orang per hari.

Bahan gas bio dapat diperoleh dari limbah pertanian yang basah, kotoran hewan (manure), kotoran manusia dan campurannya. Kotoran hewan seperti kerbau, sapi, babi dan ayam telah diteliti untuk diproses dalam alat penghasil gas bio dan hasil yang diperoleh memuaskan (Harahap et al., 1978).

Feses dari semua ternak ruminansia pada hakekatnya potensial untuk pembuatan gas bio, tetapi yang paling baik untuk dikembangkan di masyarakat adalah ternak sapi potong atau sapi dan kerbau, karena jumlah produksi feses per hari cukup banyak (Sihombing, 1979). Limbah organik yang diproses menjadi gas bio selain menghasilkan bahan bakar juga menghasilkan sludge yang kualitasnya sebagai pupuk lebih tinggi dibandingkan dengan kompos dan relatif tidak mengandung bibit penyakit (Apandi, 1979; Junus, 1995).

Feses merupakan bahan yang paling banyak dan cocok digunakan untuk pembuatan gas bio karena mengandung unsur N cukup tinggi, mudah dicampur menjadi bubur atau slurry dan memungkinkan diproses secara kontinyu yaitu dengan pencernaan khusus untuk kandang. Jumlah kotoran ternak per hari yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh jenis pakan, jumlah pakan, berat badan hewan dan sistem pemeliharaan (Harahap et al., 1978). Feses secara umum rata-rata mengandung 72 % sampai 79% N, 61 % sampai 87 % P, dan 82 % sampai 92 % K (Apandi, 1979). Feses juga masih mengandung zat-zat makanan seperti protein, karbohidrat, dan mineral dalam ukuran relatif rendah, tetapi masih dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan pakan untuk ikan (Sihombing, 1979).

Kadar BK untuk memproduksi gas bio yang ideal adalah 7 % sampai 9 % karena kisaran ini merupakan kisaran ideal untuk tumbuhnya bakteri fermentatif anaerob. Menurut Triatmojo (2004), bahan isian yang paling baik untuk menghasilkan gas bio adalah bahan yang mengandung sekitar 7 sampai 9 % bahan kering. Apabila bahan kering lebih dari 9 % maka gas bio yang terbentuk akan sulit disalurkan sehingga akan menyumbat pipa pengeluaran, tetapi apabila bahan kering kurang dari 7 % maka kecepatan produksi gas bio akan menurun. 

Proses fermentasi untuk pembentukan gas bio sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan baik biotis maupun abiotis, selain itu perlu adanya keseimbangan antara tahap non methanogenik dan tahap methanogenik. Faktor-faktor lingkungan yang penting dalam proses yang berlangsung di dalam digester adalah temperatur, konsentrasi padatan, konsentrasi asam-asam volatil, pembentukan scum, konsentrasi scum, konsentrasi nutrien esensial, substansi toksik dan pH (Taiganides, 1980).

Faktor lingkungan biotis meliputi bentuk dan sifat jasad yang aktif dalam proses serta sifat kehidupan antara jasad. Mikroorganisme yang berperan di dalam proses degradasi bahan organik secara anaerob dibagi menjadi tiga kelompok, ketiga kelompok bakteri ini dalam proses pembentukan metana berlaku secara simbiosis, yaitu: 1) kelompok bakteri fermentatif seperti Streptococci, Bacteriodes dan Enterobacteriaceae; 2) kelompok bakteri asetogenik seperti Methanobacillus, Desulfoxibrio; 3) kelompok bakteri methanogenik seperti Methanobacterium, Methanobacillus, Methanosarcina dan Methanococcus. Faktor lingkungan abiotis (non biologis) menyangkut faktor luar yang dapat diatur sesuai dengan kebutuhan, serta secara langsung berpengaruh terhadap kehidupan dan aktivitas jasad, juga terhadap proses-proses yang terjadi kemudian (Suriawiria dan Sastramihardja, 1980).

Temperatur yang baik untuk perkembangan bakteri dalam proses fermentasi adalah 35 °C (Harahap et al., 1978). Produksi biogas yang tinggi adalah dari bahan-bahan atau kotoran yang mengandung C dan N dengan perbandingan 30 (C/N = 30) (Sihombing, 1980). Derajat keasaman (pH) optimal untuk proses fermentasi berkisar antar 7 sampai 8. Proses tersebut akan terhambat apabila pH berada pada 6,5 dan berhenti sama sekali pada pH 5,5 (Taiganides, 1980).

Proses fermentasi anaerobik untuk menghasilkan biogas menurut Apandi (1979) merupakan proses tiga tahap. Segolongan mikroorganisme yang fakultatif anaerob bekerja pada bahan organik yang polimerik secara hidrolisa enzimatis dirombak menjadi monomer-monomer yang larut pada tahap pertama. Monomer-monomer yang larut ini pada tahap kedua diubah menjadi asam organik, terutama asam asetat disamping propionat dan laktat. Asam organik ini merupakan substrat bagi tahap ketiga dari dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri methanogenik. Gas methan yang berasal dari asam asetat sekitar 70 %.

Bio gas paling baik diproduksi pada suhu antara 32 dan 37 oC (Anonimus, 1986). Menurut Harahap et al., 1978), bakteri anaerobik bekerja aktif pada pH antara 6,8 sampai 8.


DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1986. Biogas, Cara Meningkatkan Produksi Gas. Penerbit Bhratara. Jakarta

Apandi, M. 1979. Pemanfaatan Instalasi Gas Bio dalam Bidang Peternakan. Kertas Kerja Seminar Nasional Lembaga Penelitian Peternakan

Harahap, F., Apandi, M. dan Ginting, S. 1978. Teknologi Gas Bio. Pusat Teknologi Pembangunan. Institut Teknologi Bandung. Bandung

Junus, Mohammad. 1995. Teknik Membuat dan Memanfaatkan Unit Gas Bio. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Maramba, F. D. 1978. Biogas and Waste Recycling. Maya Farm. Manila, Philippines

Sihombing, D. T. H. 1979. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor. Bogor

Simamora, S. 1989. Pengelolaan Limbah Peternakan (Animal Waste Management). Teknologi Energi Gasbio. Fakultas Politeknik Pertanian IPB. Bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen P dan K

Surawiria, U. dan Sastramihardja, I. 1980. Faktor Lingkungan Biotis dan Abiotis di dalam Proses Pembentukan Gas Bio serta Kemungkinan Penggunaan Starter Efektif di dalamnya. Kertas Kerja Lokakarya Pengembangan Energi Non Konvesional. Direktorat Jendral Ketenagaan, Departemen Pertambangan dan Energi

Triatmojo, Suharjono. 2004. Penanganan Limbah Peternakan. Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS). Jurusan Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta



0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger